Oleh : Moksen Idris Sirfefa *
“DENGAN mengucap Bismillah, saya buka Munas KAHMI”, demikian yang dikatakan Presiden Jokowi saat membuka secara resmi Munas KAHMI X yang bertempat di hotel Dyandra Santika kota Medan. Pertemuan MN KAHMI dengan Presiden Jokowi yang ketiga ini menindaklanjuti pertemuan sebelumnya di Istana Merdeka, yaitu audiensi MN KAHMI untuk meminta kesediaan membuka Munas KAHMI dan saat pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada pendiri HMI, Prof. Lafran Pane. Kesedian dan kehadiran Presiden Jokowi untuk membuka Munas KAHMI X di Medan mendatangkan dua pertanyaan mendasar. Apakah Jokowi sedang berusaha menormalkan kembali hubungannya dengan KAHMI, karena beberapa saat lalu ia mencopot tiga alumni HMI di Kabinetnya (Ferry, Anies dan Yudi, meskipun dalam pembukaan Munas tadi sore, ia mengajak hadirin tepuk tangan untuk mantan menterinya yang sudah menjadi gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan) dan membiarkan rezimnya (mantan Kapolda Metro Jaya, M. Iriawan) dan (komisioner KPK, Saut Situmorang) mendzalimi HMI? Atau, apakah Jokowi sedang mencari dukungan bagi pencapresannya untuk periode kedua di tahun 2019? Sebab, secara ril politik, NU dan Muhammadiyah sudah berada dalam genggamannya, sehingga kini giliran KAHMI.
Saya tidak memantau secara dekat apa reaksi dan ekspresi delegasi KAHMI yang hadir sore tadi. Tetapi yang jelas “pesan” yang didapat dari kehadiran Jokowi di MUNAS KAHMI X ini adalah bahwa ia semakin “diterima” oleh warga KAHMI. Jika diterawang lebih dalam, calon-calon anggota Presidium MN KAHMI yang akan dipilih nanti mewakili hampir semua aktivis partai politik pendukung Jokowi, selain Gerindra dan Golkar, meskipun Ahmad Doli Kurnia dari barisan muda partai Golkar sedang beroposisi keras dengan Ketua Umum-nya yang baru membenturkan kepalanya di tiang listrik.
Jokowi sedang berbunga-bunga dan tentu saja warga KAHMI yang datang dari pelbagai pelosok Tanah Air merasa senang dengan kehadirannya karena bisa bersama-sama menyanyikan Hymne HMI. Tetapi saya ingin kembali mengingatkan kita untuk melawan lupa. Memori kolektif kita harus ditahan jauh ke belakang dengan ajuan pertanyaan kritis. Apakah Jokowi sudah berubah? Apakah ia semakin familiar dengan umat Islam yang mendongkolinya karena dukungannya pada Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta tempo hari? Hemat saya, kedongkolan itu masih tetap ada sampai suatu saat ia akan menyatakan diri berpihak pada umat Islam. Mengapa? Saya melihat Jokowi adalah kiblat Indonesia, dimana semua perhatian dan konsentrasi perjalanan bangsa Indonesia terpusat padanya. Hanya saja ia tidak steril dari kekuatan-kekuatan anti-Islam. Ibarat Ka’bah di Makkah zaman bahula, tubuhnya masih dihiasai berhala Latta, Uzza, Manatta dan lain-lain milik kaum pagan. Meskipun ia telah berusaha mencitrakan Islam, baik saat menikahkan anak gadisnya beberapa hari lalu — yang dihadiri ulama baik dari NU, Muhammadiyah dan MUI — dengan peran dan doanya masing-masing serta ucapan “basmalah” saat membuka Munas KAHMI tadi sore, itu belum cukup modal untuk menghapus kedongkolan umat Islam. Satu-satunya cara adalah dia harus melepas berhala-berhala yang menempel di tubuhnya. Pelepasan berhala ini saya sebut saja proses “pengislaman Presiden Jokowi” untuk menghilangkan aura buruk yang selama ini menguasainya.
Koreksi saya kepada Panitia Munas, seharusnya, dalam acara pembukaan Munas tadi, salah satu anggota kumpulan Guru Besar KAHMI membacakan butir-butir pemikiran hasil Semiloka dua hari kemarin bagi perbaikan bangsa di depan Presiden Jokowi. Butir-butir pemikiran itu antara lain menuntut perlakuan yang adil kepada umat Islam, keberpihakan kepada umat Islam dan pembatasan peran para berhala yang selama ini meminjam raga Jokowi dan mempengaruhi kebijakan-kebijakannya selaku Presiden yang sesungguhnya. Karena itu tidak dilakukan oleh Panitia Munas, maka kepengurusan KAHMI hasil MUNAS X di Medan ini memiliki agenda prioritas, berdialog dengan Jokowi sekali lagi dan mendesak dia tentang apa yang seharus dia rubah dari gaya pemerintahannya. Hanya dengan cara ini, politik akomodasi yang sedang dia jalankan untuk mencari simpati umat Islam mendapat tempat. Bila tidak, mending KAHMI segera mengambil jarak dengan Jokowi dan menempuh cara lain yang lebih prospektif berpihak pada KAHMI dan umat Islam, tinimbang tetap memilih Jokowi untuk periode kedua tetapi KAHMI dan umat Islam kehilangan duit belanja. _Wallahu a’lam_.
——————
* Mantan Ketua Bidang Komunikasi Umat PB. HMI periode 1997-1999.