Dinamika Regulasi dan Pilkada Serentak Sulawesi Tenggara

Pemilihan umum secara langsung di Indonesia diawali dengan pemilihan langsung pada tahun 2004 yaitu Pemilihan Presiden. Semenjak itu pula pemilihan Kepala Daerah juga dipilih secara langsung oleh masyarakat yang sebelumnya ditentukan oleh anggota DPRD untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota sebagaimana tertuang dalam pasal 18 undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Evaluasi pelaksanaan Pemilihan Umum secara langsung melahirkan ide “Pilkada Serentak” yang kemudian terus disempurnakan hingga lahirnya undang-undang, No. 8 Tahun 2015 yang sebelumnya melewati proses lama dan menuai pro kontra di tengah masyarakat.

Bacaan Lainnya

Undang-undang tersebut adalah perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang pada saat itu adalah masa-masa Transisi. Bahkan sempat muncul wacana Pemilihan Kepala Daerah akan dikembalikan ke DPRD yang tak kalah menuai prokontra.

Untuk saat ini, undang-undang Pilkada serentak telah diubah dengan Undang-undang No. 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Waki Bupati, dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota menjadi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah yang digunakan sekarang ini.

Berkaitan dengan “Pilkada Serentak” yang terus menjadi perhatian sejak awal penetapannya, pelaksanaanya di lapangan tak langsung berjalan mulus.

Untuk Pilkada Serentak Sulawasi Tenggara sendiri, banyak dinamika politik yang terjadi sebagai dampak penerapan “Pilkada Serentak” tersebut. Hal ini terlihat dari penyelenggaraan tahap I yang berlangsung pada 9 Desember 2015 lalu, di 7 daerah, yaitu: Kabupaten Konawe Selatan, Konawe Utara, Konawe Kepulauan, Kolaka Timur, Buton Utara Muna dan Kabupaten Wakotobi.

Hasilnya lima pasangan calon Kepala Daerah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, di antaranya adalah Aswad Sulaiman-Abu Haera (Konawe Utara), Ridwan Zakaria-La Djiru (Buton Utara), Muh. Nur Sinapoy-Abdul Salam (Konawe Kepulauan) dan Rusman Emba-Malik Ditu (Kabupaten Muna).

Gugatan yang lanjut atau memenuhi syarat formil untuk ke tahap pembuktian dan diterima permohonan PHPU-nya bahkan PSU sampai jilid II yaitu Kabupaten Muna yang kemudian dimenangkan oleh pasangan Rusman Emba-Malik Ditu yang berakronim atau slogan Rumah Kita. Dimana diketahu pemilihan 9 Desember dimenangkan oleh pasangan Dr. Baharuddin-Lapili yang selisihnya sangat tipis. Setelah melalui proses panjang dan PSU sampai jilid II, keputusan MK Nomor 120/PHP.BUP-XIV/2016 memberikan kemenangan pada Rusman Emba-Malik Ditu.

Sementara tahap II di tahun 2017 lalu, Pilkada Serentak diselenggarakan di 7 daerah, yaitu : Kabupaten Bombana, Kolaka Utara, Buton, Buton Selatan, Buton Tengah, Muna Barat dan Kota Kendari.

Hasil dari Pilkada tersebut, beberapa pasangan calon juga berakhir di meja MK, yaitu pasangan calon Muhammad Faizal-Wa Ode Hasniawati (Buton Selatan), Kasra Jaru Munara-Man Arfah (Bombana) dan Abdul Rasak-Haris Andi Surahman (Kota Kendari), namun yang lanjut perkara PHPU dan memenuhi syarat formilnya berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 pasal 158 hanya satu daerah yaitu kabupaten Bombana.

Mahkamah Konstitusi memerintahkan KPU Bombana untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) berdasarkan putusan MK Nomor:34//PHP-BUP-XV/2017. Setelah KPU melaksanakan PSU, MK mengesahkan hasil pleno KPU Bombana Nomor.20/HK.63.1-Ktp/7406/KPU/Kab/VI/2016 tentang penetapan perhitungan suara PSU 7 TPS diempat Kecamatan, dimana Tafdil kembali memimpin Bombana.

Jika melihat panasnya persaingan politik pada Pilkada Serentak tahap I dan II, kemungkinan besar penyelenggaraan Plkada Serentak tahap III di Sulawesi Tenggara yang akan dilakukan di 4 daerah termasuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan tiga kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Konawe, Kolaka dan Kota Bau-Bau akan berjalan alot dan tak kalah menegangkan seperti dua tahapan sebelumnya. Bahkan berpotensi konflik yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan dua tahapan sebelumnya.

Ada beberapa alasan yang mendasari pernyataan tersebut. Pertama, sebagaimana diketahui bahwa perhelatan Pilgub akan melibatkan seluruh lapisan masyarakat Sulawesi Tenggara, disamping itu ketiga daerah lainnya yang melakukan Pilkada pun merupakan daerah dengan potensi vital di Sulawesi Tenggara.

Kedua, amburadulnya kinerja pihak penyelenggara, seperti diketahui bersama bahwa Pilkada Serentak 2015 lalu terjadi pemecatan terhadap komisioner KPU oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, kemudian Pilkada Serentak tahap II juga terjadi pemecatan terhadap beberapa Komisioner. Dengan adanya pemecatan terhadap beberapa komisioner KPU sepanjang Pilkada Serentak yang telah dilakukan pada 9 Desember 2015 dan 15 Februari 2017 membuktikan kurang maksimalnya independensi dan kepatuhan terhadap regulasi Pilkada yang seharusnya diutamakan.

Ketiga, kurangnya sosialisasi tentang etika politik dan pendidikan politik, sehingga ajang Pilkada seolah-olah menjadi kesempatan untuk pamer kekuatan politik di mata masyarakat. Masyarakat pun digiring untuk memilih penguasa, bukan pemimpin. Hal inilah yang memungkinkan mudahnya terjadi gesekan yang memicu konflik.

Saat ini, tahapan Pilkada Serentak tahap III tengah berjalan, dimulai dari pembahasan hingga penandatangan nota perjanjian hibah daerah (NPHD) untuk anggaran Pilgub, dan Pilbub, begitu pula tahapan yang dilakukan oleh partai politik untuk mengusung bakal calon yang hampir rampung di semua partai atau pengurus wilayah masing-masing. Tinggal menunggu semua partai mengumumkan rekomendasi untuk bakal calon Kepala Daerah yang akan diusung, bahkan sudah ada beberapa partai yang telah mengumumkan siapa bakal calon yang akan diusungnya.

Seluruh proses tersebut akan rangpung hingga tahapan pendaftaran calon ke KPU dibuka. Namun begitu, sementara tahapan ini berjalan, sudah banyak drama politik yang terjadi, seperti saling klaim partai pendukung dan bantah-bantahan pernyataan antara para bakal calon dan partai politik, baik untuk Pilgub maupun Pilbub dan Pilwali.

Atas beberapa uraian tersebut, perhatian besar oleh seluruh lapisan masyarakat di Sulawesi Tenggara sangat dibutuhkan untuk sama-sama mengawal jalannya Pilkada Serentak tahap III di tahun 2018 mendatang. Selain itu, kesadaran atas tanggung jawab menjadi kunci utama terlaksananya regulasi tersebut agar dapat berlangsung sesuai prinsip dan tujuannya. Perhatian dan kesadaran itu juga adalah milik semua pihak, bukan sebelah pihak semata. Mengingat pendaftaran bakal calon akan dilangsungkan pada tanggal 8-10 Januari 2018 sebagai mana yang terlampir dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 tahun 2017 tentang Tahapan Pilkada Serentak 2018 mendatang,

Maka kata kunci yang tepat untuk mendukung terciptanya Pilkada yang sesuai harapan di Sulawesi Tenggara ini adalah bersama-sama “mengawal” seluruh tahapan mulai dari saat ini, hingga penetapan Kepala Daerah yang baru. Penulis bersepakat dengan sepenggal catatan Najwa Shihab berikut ini, “ Percayalah setelah Pilkada ini mereda, mereka yang kini terlihat bertikai dengan mudah kembali mesra. Jangan habis-habisan untuk kekuasaan, padahal yang dibutuhkan rakyat justru pengabdian”.

Penulis : Edi Sulkipli
Peneliti Epicentrum Politica dan Praktisi Hukum.

 

 
 
*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait