KAHMI, KEISLAMAN DAN KEINDONESIAAN

Oleh : Moksen Idris Sirfefa

WELCOME TO MEDAN, Kemarin dan hari ini, kota Medan kedatangan para tamu delegasi Musyawarah Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MUNAS KAHMI) X dari seluruh Tanah Air dengan penuh suka cita. Ditunjuknya kota Medan, Sumatera Utara menjadi tempat perhelatan ini sungguh berjodoh dengan situasi politik nasional mutakhir. MUNAS KAHMI kali ini nuansanya agak berbeda. MUNAS Rasa Kongres HMI, kira-kira begitu judul ceritanya.
Tetapi yang terpenting dari itu, MUNAS KAHMI X Medan ini menjadi ajang refleksi tentang rasa Islam _(Islamic taste)_ yang mulai hambar di tubuh organisasi ini.

Bacaan Lainnya

 

*TAPAK LAFRAN PANE*

Kota Medan dan wilayah Sumatera Utara menjadi tempat yang tepat bagi para delegasi MUNAS (baik peserta resmi maupun penggembira) untuk menapaki sejarah Islam dan tapak langkah tokoh Lafran Pane yang baru disematkan gelar Pahlawan Nasional oleh negara padanya pada tanggal 10 November 2017 lalu. Tanah Deli (Sumatera utara pesisir timur) dengan Medan sebagai pusatnya menjadi saksi bisu bagi seorang remaja Sipirok , Lafran Pane. Siswa pindahan _Wustho_ dan Taman Siswa Sipirok ini tak tentu nasib di Tanah Deli. Kadang-kadang sudah menggeletak di kaki lima dan emper-emper toko. Untuk menyambung hidupnya, Lafran kecil menjual karcis bioskop, main kartu dan menjual es lilin. Demikian yang dikisahkan penulis Sudjoko Prasodjo dalam _Majalah Media,_ yang dikutip Agusalim Sitompul. (Lihat, Ahmad Tirtosudiro, Ahmad Dahlan Ranuwihardjo dan Agusalim Sitompul, _Lafran Pane : Penggagas Besar,_ Jakarta, KAHMI Center, 2015).

Kota Medan juga adalah tempat bertahtanya Kesultanan Deli yang hingga kini masih menyisakan dan mengisahkan kebesaran kerajaan Islam itu. Islam yang menjadi nilai-nilai dasar berpemerintahan masa itu telah berhasil menciptakan masyarakat yang damai, tenteram, selaras duniawi-ukrawi. Nilai-nilai Islam itu berlaku sebagai tata kelola pemerintahan sebelum hadirnya kolonialisme dan _modern state_ Indonesia. Jauh sebelum Kesultanan Deli, Islam telah dikenal di pedalaman Sumatera Utara. Studi arkeologi Nusantara menandakan bahwa  daerah Barus di Tapanuli Tengah lebih dulu menerima Islam berdasarkan angka yang tertera pada nisan Tuhar Amsuri bertahun 602 hijriyah sedangkan  pada nisan Malik al-Saleh di Pasai bertahun  696 hijriyah (Uka Tjandrasasmita, _Arkeologi Islam Nusantara,_ UIN Jakarta-Gramedia, 2009; Hasan Muarif Ambary, _Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia,_ Ciputat, Logos, 1998). Pendek kata, Islam telah menjadi subkultur tertua di Sumatera Utara. Namun pada hari-hari terakhir ini, nilai-nilai Islam itu ditakuti dan dibenturkan dengan Pancasila dan NKRI yang justru baru lahir kemarin sore dari rahim umat Islam.

Penyematan gelar Pahlawan Nasional kepada Prof. Lafran Pane, pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi mahasiswa tertua pasca Indonesia merdeka, adalah sudah semestinya. Karena keterlibatan kader dan alumni HMI di masa revolusi fisik dan 70 tahun pembangunan bangsa sangat besar karena legasi Lafran Pane.  Ia berasal dari Padangsidempuan, wilayah Tapanuli (Sumatera utara pesisir barat/barat daya) yang jika disisir ke ke barat berpapasan dengan kerajaan Islam Aceh. Sedangkan ke tenggara wilayah ini menjadi salah satu markas pertahanan tentara Paderi pimpinan Imam Bonjol di Sumatera Barat.  Ayah Pak Lafran, Sutan Pangurabaan adalah tokoh pendiri organisasi Muhammadiyah di Sipirok dan direktur transpoprtasi ODP (Oto Dinas Pengangkutan), cikal bakal DAMRI. Dua abangnya, Sanusi Pane dan Armin Pane adalah tokoh kesusasteraan Indonesia, Pujangga Baru.  Letak geografis Tapanuli Selatan (Sipirok, 38 kilometer dari Padang Sidempuan yang berkultur Batak) mengalami akulturasi yang lama dengan kebudayaan Islam di sisi timur, barat dan tenggaranya.

Setelah berhijrah ke Batavia mengikuti kedua abangnya, Lafran masuk HIS lantas ke MULO Muhammadiyah seterusnya AMS Muhammadiyah Batavia/kini Jakarta. Dari lingkungan Muhammadiyah, ia pindah ke Taman Dewasa Raya Jakarta. Di tempat baru inilah Lafran bertemu dengan Djakfar Nawawi (DN) yang di belakang hari, namanya diganti menjadi Dipo Nusantara (DN) Aidit, Ketua CC. PKI. Dari Jakarta, Lafran balik ke Padangsidempuan. Nahas, di kampung halamannya ia difitnah ingin memberontak kepada Jepang dan dia dijatuhi hukuman mati. Tapi berkat ketokohan ayahnya, ia selamat dari hukuman mati itu. Ia balik lagi ke Batavia tahun 1943 dengan proses kejiwaan yang radikal. Insan Kamilnya mulai tergugah, bahwa dia mesti kembali ke hakekat hidup mengapa manusia diciptakan. Ia terus merenung dan tafakur berkat dasar pendidikan agama yang ia peroleh sejak di pesantren Muhammadiyah Sipirok, asuhan dan didikan agama serta jiwa nasionalisme dari ayahnya serta realitas sosiologis masyarakat Sipirok dan Padangsidempuan yang taat akan nilai-nilai luhur Islam, menyebabkan pemuda Lafran menemukan jatidirinya menjadi seorang Muslim.  Ia pindah ke Yogyakarta yang tak seberapa lama, ibukota Negara berpindah ke kota Gudeg ini.  Sekolah Tingggi Islam (STI) di Jakarta pun pindah ke Yogakarta dan pemuda Lafran menjadi salah satu mahasiswa pertama STI Yogyakarta yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Dosen-dosen Islam top masa itu antara lain Abdul Kahhar Muzakkir, Husen Yahya dan H.M. Rasyidi (Ahmad Tirtosudiro, Ahmad Dahlan Ranuwihardjo dan Agusalim Sitompul, _Lafran Pane : Penggagas Besar,_ Jakarta, KAHMI Center, 2015).

Realitas mahasiswa Indonesia yang terjerumus dalam pola budaya liberalisme dan kemerosotan kualitas hidup bangsa Indonesia, khususnya umat Islam menjadi pertimbangan yang mendalam bagi Lafran untuk membentuk wadah pergerakan bernuansa nasionalisme religius . Tepat di tanggal 5 Februari 1947, Lafran mendeklarasikan kelahiran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang ternyata tepat di usia ke-25 tahun kelahirannya.

Pemuda Lafran menghadapi cuaca pergerakan yang disemai tokoh-tokoh pergerakan Islam awal yang pernah digembleng di dua organisasi pemuda pelajar Islam era 1920-an, yakni Jong Islamieten Bond (JIB) dan Studenten Islam Studiclub (SIS). Tokoh-tokoh terkenal dari dua organisasi pemuda/pelajar ini  antara lain Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, M. Natsir dan Agus Salim.  Dan karena itu, secara geneologi, kelahiran HMI adalah kelanjutan dari JIB dan SIS (lihat Ridwan Saidi, _Gerakan Himpunan Mahasiswa Islam Dalam Pemikiran dan Dakwah di Indonesia,_ LSIP, Jakarta, 1984).
*MEMENANGKAN UMAT ISLAM*

Meskipun wilayah Sumatera Utara jauh di barat, tetapi dinamika politik di Jakarta beberapa waktu lalu — yang memosisikan umat Islam _versus_ rezim politik saat ini — turut menohok sisi emosi dan spiritualitas umat Islam Sumatera Utara.  Gerakan massa 411 dan 212 yang mengusung spirit Islam menghendaki Islam sebagai tata nilai (etika) perilaku berbangsa dan bernegara hendaknya menjadi _main issue_ MUNAS KAHMI X ketimbang menjadikan ajang MUNAS ini sarat dengan intrik politik jangka pendek.  Artinya, MUNAS X KAHMI di harus mampu melahirkan *Deklarasi Medan* yang pada intinya menguatkan kembali rasa Islam _(Islamic taste)_ yang mulai hambar di KAHMI untuk kembali pada _khittah_ kelahiran HMI. KAHMI harus memenangkan kepentingan umat Islam di atas kepentingan siapapun. KAHMI jangan kehilangan ladang garapan seperti yang dirasakan keluarga besar HMI saat ini. Dimana ketika berbicara tentang Indonesia, telah diambil oleh sekte-sekte politik-nasionalis sekuler yang anti-Islam. Ketika berbicara tentang Islam, telah diambil oleh NU, Muhammadiyah, FPI dan kelompok-kelompok Islam dadakan. Pada akhirnya KAHMI dan keluarga besar HMI di posisi antara dua tempat _(al-manzilah bayn al-manzilatain),_ bingung mau kemana, _quo vadis : ayna tadzhabun?_

Hilangngnya gairah intelektualisme dan Islamisme di KAHMI diakibatkan oleh kepentingan pragmatisme politik jangka pendek yang tidak berefek dan berpihak pada kepentingan umat Islam secara masif. Padahal intelektualisme dan Islamisme telah terbukti memiliki daya tonjok psikologis yang dahsyat bagi perubahan iklim dan sistem sosial-politik di dunia Islam. Kasus Iran dan Turki bisa menjadi acuan. Dua senjata KAHMI itu menjadi kekuatan tawar dan promosi politik publik. Saya kira Forum Guru Besar alumni HMI yang digelar di Jakarta dua hari kemarin akan lebih efektif fungsional jika dimanajeri secara baik oleh Kepengurusan hasil MUNAS KAHMI X di Medan ini.

 

*PENUTUP*

KAHMI bukan partai politik tetapi bukan berarti tidak berpolitik. Keberadaan Presidium MN KAHMI bukan ajang perebutan jabatan politik tetapi yang dibutuhkan dari kerja Presidium MN KAHMI adalah perjuangan moral intelektualisme dan islamisme bagi kemajuan kepolitikan bangsa. Sayang sekali ketika menghadapai situasi disrupsi dalam sistem pemerintahan maupun turbulensi politik yang sangat dahsyat di level nasional, MN KAHMI selalu gamang menunjukkan keberpihakan yang tegas pada kepentingan umat dan _Izzah_ Islam. MUNAS KAHMI X di Medan harus kembali menemukan elan vital motivasi dasar kelahiran HMI. Menyelamatkan Indonesia dari sistem politik _Thawâghît_ (tunggal : _Thâgût_), yaitu anasir-anasir jahat yang merusak sendi-sendi ketahanan bangsa yang bertentangan dengan nilai Islam serta berpihak tanpa reserve pada kepentingan umat Islam.

Selamat ber-MUNAS !

 

—————————-
*Mantan Ketua Bidang Komunikasi Umat PB. HMI periode 1997-1999.

 
 
*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait