Oleh: Baron Harahap,SH,MH
Kegalauan publik Parepare yang menanti-pastikan isi Putusan Mahkamah Agung (MA) akhirnya terjawab. Senin 21 Mei 2018, MA mengetuk palu putusan nomor: 06 P/PAP/2018. Keputusan KPU Kota Parepare yang membatalkan pencalonan paslon petahana Taufan Pawe-Pangerang Rahim (TPPR) dinyatakan tidak sah. Riuh gembira pendukung TPPR menyambut putusan a quo. Seolah tak memberi kesempatan kepada KPU Parepare untuk mendapatkan salinan resmi putusan MA, kuasa hukum dan tim sukses bergerak cepat-mendesak KPU Parepare segera cabut SK Pembatalan Paslon TPPR lanjut menetapkan paslon petahana TPPR kembali menjadi peserta Pilkada Parepare. Gayung bersambut, KPU Parepare melaksanakan Keputusan MA-menetapkan kembali paslon TPPR sebagai salah satu peserta Pilwalkot Parepare 2018.
Sebagai supreme of court, putusan MA harus diterima sebagai ujung akhir dari proses sengketa, bersifat akhir dan mengikat (erga omnes). Secara kasuistis, putusan ini substansinya progresif, namun benderang meninggalkan jejak cacat prosedur pun substansi. Notabene, MA mengabaikan produknya sendiri-hukum acara penyelesaian sengketa, yakni Peraturan Mahkamah Agung Nomor 11 Tahun 2016 (Perma). Berdasar Perma, penanganan sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan (PAP) harus dimulai dari tingkat Bawaslu (adjudikasi). Proses adjudikasi menjadi tiket perkara a quo dapat diadili oleh MA. Namun keberlakuan Perma ini ditampik oleh MA dengan mengadili dan menerima permohonan sengketa Pilkada Parepare meski tanpa proses adjudikasi. Bahkan, melalui putusan a quo, MA menafisir sama bahwa pelanggaran atas pasal 71 ayat (3) UU Pilkada ditangani sama dengan model pelanggaran atas norma Pasal 73 ayat (2) UU Pilkada, dengan model penyelesaian sengketa PAP (vide : Pasal 135A UU Pilkada).
Ihwal kasus ini bermula adanya laporan pembagian beras sejahtera (rastra) yang diduga melibatkan paslon petahana Taufan Pawe ke Panwas Parepare. Hasil kajian Panwas merekomendasikan paslon petahana TPPR terkualifikasi melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (3) UU Pilkada. KPU Parepare meindaklanjuti rekomendasi a quo dengan membatalkan paslon petahana TPPR.
Berselang 3 (tiga) hari kerja sejak terbitnya SK KPU Parepare berkait pembatalan paslon petahana, Kuasa Hukum TPPR yang dimotori Tim Hukum Anwar,S.H. Cs. mengajukan permohonan sengketa ke MA. Permohonan sengketa a quo diregister dengan model sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan (Perkara No.06 P/PAP/2018). Hasilnya, MA memutuskan paslon petahana TPPR dinyatakan tidak terbukti melakukan tindakan penyalahgunaan program atau kewenangan- melanggar Pasal 71 ayat (3) UU Pilkada. Konsekuensinya, KPU Parepare mencabut SK Pembatalan paslon petahana dan menetapkan kembali TPPR sebagai salah satu peserta Pilwalkot Parepare. TPPR pun kembali berkontestasi.
Kewenangan Bersyarat
Absolut, MA adalah pemegang kewenangan akhir dari penyelesaian sengketa pilkada non hasil berdasar regulasi hukum Pilkada. Dapat ditilik normanya pada pasal 135A UU Pilkada yang mengatur hukum acara penyelesaian sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan (PAP) dan Pasal 154 UU Pilkada yang mengatur penyelesaian sengketa TUN Pemilihan. Berdasar UU Pilkada, MA menindaklanjuti dengan menetapkan prosedur baku beracara di PTTUN/MA melalui Perma 11/2016. Baik melalui UU Pilkada maupun Perma 11/2016, notabene menekankan alur penyelesaian sengketa harus dimulai dari tingkat Panwas/Bawaslu, dan setelahnya baru dapat melangkah naik ke jenjang PTTUN/MA.
Keteguhan sikap MA yang menekankan proses adjudikasi sebelum melangkah pada tingkat PTTUN/MA terekam pada putusan sengketa Pilkada Konawe Selatan. Dalam putusannya menyatakan tidak dapat menerima permohonan sengketa dengan alasan tidak melewati tahapan adjudikasi. Meski pelaksanaan Pilkada Konawe Selatan saat itu masih terkoridori oleh UU 1/2015, namun formil hukum acara sengketa tingkat PTTUN/MA secara substansi masih sama yang dianut norma pasal 154 UU Pilkada, yakni didahului dengan proses adjudikasi.
MA menempatkan derajat proses adjudikasi sebagai talian kewenangan untuk sampai pada tingkat MA. Penggunaan kewenangan MA dimaknai menjadi bersyarat setelah seluruh alur rangkaian adjudikasi telah terlewati. Oleh karenanya pengajuan gugatan ke PTTUN/Mahkamah Agung (baik sengketa TUN Pemilihan maupun sengketa PAP) berdasar Perma wajib melampirkan bukti putusan adjudikasi tingkat Panwas/Bawaslu (vide: pasal 6 ayat (2) huruf a Jo Pasal 16 ayat (2) huruf a Perma 11/2016).
Memang, pengabaian proses adjudikasi oleh MA sebelum putusan kasus Parepare pernah terjadi. Kala itu MA mengadili sengketa PAP yang diajukan oleh salah satu Paslon Pilkada Kota Gorontalo. Gugatan sengketa yang diajukan oleh paslon a quo diterima oleh MA melalui putusan Nomor:01 P/PAP/2018. Dalam putusan a quo (yang teregister dengan perkara sengketa model PAP) tidak pernah melalui proses adjudikasi tingkat Bawaslu Prov Gorontalo. Namun ratio legis MA menerima gugatan tertuang dalam amar pertimbangan yang menyatakan, meskipun perkara teregister dengan nomor perkara PAP, namun harus dimaknai sebagai sengketa TUN Pemilihan, yang dalam faktanya penggugat telah melewati sengketa TUN pemilihan tingkat PTTUN Makassar.
Dalam kasus ini, MA memposisikan diri sebagai lembaga tingkat kasasi karena perkara tersebut sebelumnya telah terproses tingkat banding di PTTUN. Jelas dan tegas. Dapat diterima secara legal reasoning alasan diterimanya gugatan oleh MA. Toh secara substansi putusan a quo tidak mengabaikan eksistensi proses adjudikasi yang disyaratkan UU Pilkada pun Perma 11/2016. Hal yang berbeda pada putusan MA berkait Pilkada Parepare yang tidak menyatakan alasan penanganan perkara a quo yang diterima tanpa proses adjudikasi. Ini suatu anomali.
Tanpa Penjelasan
Meskipun KPU Parepare tidak menyatakan keberatan (eksepsi) atas sengketa a quo yang diadili oleh MA tanpa melewati tahapan adjudikasi, namun baik formil-materilnya MA harus menjelaskan alasannya menerima gugatan a quo. Tentu untuk menghindari keraguan publik bahwa putusan tersebut lahir karena amisnya hangky-pengky.
Menilik pertimbangan hukumnya, MA menyatakan berwenang mengadili kasus Parepare karena perkara dikualifikasi sebagai pelanggaran administrasi pemilihan sebagaimana dimaksud pasal 135A UU Pilkada Jo Pasal 14 Perma 11/2016. Namun MA menyadari pokok sengketa bukanlah berkaitan dengan pasal 73 ayat (2) UU Pilkada sebagaimana yang dituju Pasal 135A UU Pilkada. Ironinya, MA tidak memapar alasan hukum pada putusannya mengkualifikasi penanganan sengketa Parepare dengan model sengketa sebagaimana dituju Pasal 135A UU Pilkada. Padahal dalam pertimbangan hukum putusan a quo pada halaman 74 menyatakan apakah pelanggaran atas ketentuan pasal 71 ayat (3) UU Pilkada Jo Pasal 89 ayat (2) PKPU 3/2017 dapat dikualifisir sebagai pelanggaran administrasi pemilihan sebagaimana dimaksud pasal 135A UU Pilkada?. Anehnya, pertanyaan tersebut tak terjawab setiti pun dalam putusan MA. Jelas sebuah keserampangan.
Dampak keserampangan ini bukan hanya merusak-kaburkan hukum acara penyelesaian sengketa PAP yang dimaksud norma pasal 135A UU Pilkada (yang mewajibkan proses adjudikasi). tetapi juga meruntuhkan derajat dan wibawa Panwas/Bawaslu yang secara atributif kewenangan adjudikasinya bersumber dari UU Pilkada. Bersamaan sumber kewenangannya dengan MA.
Implikasi substansi atas putusan MA dalam kasus Parepare yakni MA telah memberikan tafsir yang sama atas perbuatan yang dapat dikualifikasi Pelanggaran Administrasi Pemilihan tidak terbatas pada norma pasal 73 ayat (2) UU pilkada, namun juga termasuk perbuatan pada norma pasal 71 ayat (3) UU Pilkada. Padahal secara limitatif norma pasal 135A UU Pilkada membatasi sengketa PAP hanya berkaitan dengan Pasal 73 ayat (2) UU Pilkada.
Putusan MA dalam perkara Pilwalkot Parepare kontras jika disandingkan dalam perkara yang sama yakni sengketa Pilwalkot Kota Makassar. Atas pelanggaran yang sama yakni perbuatan yang terkualifikasi pasal 71 ayat (3) UU Pilkada, Paslon Petahana Makassar disanksi pembatalan atas dasar model penanganan sengketa TUN pemilihan. Mungkin, hasilnya akan berbeda jika penanganan kasus Makassar ditangani dengan model penanganan kasus Parepare-sengketa PAP yang berdasar pasal 135A UU Pilkada. Dengan model sengketa PAP, Walikota Makassar yang notabene paslon petahana dapat secara aktif maju sebagai pihak yang berperkara di MA-membuktikan programnya adalah untuk kepentingan umum.
Keseragaman
Kita tidak ingin mengulangi ego sektoral Panwas Kota Makassar yang seolah mengadili kembali pembatalan paslon petahana akibat KPU melaksanakan Putusan MA yang bersifat akhir dan mengikat. Namun dengan sikap MA yang mengadili kasus Parepare tanpa melalui proses adjudikasi tingkat Bawaslu-mengeleminasi prinsip norma pasal 135A UU Pilkada dan Peraturannya sendiri (Perma 11/2016), potensial memunculkan ego sektoral kelembagaan pengawas pemilu berbasis kewenangan yang sah. Olehnya itu dibutuhkan role model penanganan pelanggaran pasal 71 ayat (3) UU Pilkada.
Selain itu secara faktual adanya perlakuan yang berbeda dalam penanganan perbuatan yang terkualifikasi pasal 71 ayat (3) UU Pilkada antara Pilwalkot Makassar dan Pilwalkot Parepare, mengisyaratkan perlunya Bawaslu dan MA harus merumuskan kembali model penanganan atas pelanggaran pasal 71 ayat (3) UU Pilkada. Hal ini untuk mewadahi kekosongan hukum (recht vacuum) UU Pilkada yang tidak mengatur secara tegas keseragaman model penanganan atas pelanggaran a quo. Apalagi pada tahapan pilkada pelanggaran demikian potensial terjadi.
Sebagai rekomendasi penulis, pilihan model penyelesaian sengketa atas pelanggaran pasal 71 ayat (3) UU Pilkada lebih efektif dan efisien jika menggunakan model sengketa PAP. Tidak dengan model sengketa TUN Pemilihan. Dari sisi keadilan substantif, para pihak/paslon dapat terlibat secara aktif mempertahankan kepentingannya (membuktikan/menyangkal laporan), serta putusan MA yang lahir dengan model penyelesaian sengketa PAP tidak memiliki daluarsa sebagaimana putusan sengketa TUN Pemilihan, bersifat non executable jika putusan terbit kurang dari 30 (tiga puluh) hari sebelum pemilihan. Setidaknya ini merupakan sebuah solusi.
Penulis: Praktisi Hukum/Author Negarahukum.com