Oleh: A. Muhammad Hasgar A.S., S.H., M.H.
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Direktur Utama Lingkaran Survei Sulawesi (LSS))
Sumpah Pemuda bukan sekadar romansa sejarah yang dibacakan setiap Oktober. Ia adalah cermin spiritual yang mengingatkan bangsa bahwa kemerdekaan hukum sejati lahir dari nurani, bukan dari pasal-pasal kering. Ketika konstitusi mulai kehilangan denyut etiknya dan hukum terjebak dalam pusaran transaksi kekuasaan, maka semangat profetik yang pernah menyalakan api persatuan 1928 harus kembali dinyalakan.
Sembilan puluh tujuh tahun setelah kemerdekaan, hukum kita masih mencari jati dirinya antara idealisme dan kepentingan politik. Kedaulatan rakyat yang dijanjikan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tampak sering tereduksi menjadi sekadar formalitas sementara produk hukum lahir dari kompromi elit yang miskin moral publik. Fenomena ini menggambarkan adanya defisit etika konstitusional, di mana legitimasi politik lebih dihargai daripada legitimasi moral. Inilah kesenjangan paling nyata antara cita-cita konstitusi dan kenyataan praktik ketatanegaraan hari ini.
Dalam konteks itu, nilai-nilai Sumpah Pemuda menjadi relevan kembali. Tiga kalimat sederhana yang pernah diucapkan dengan lantang tahun 1928 sesungguhnya memuat pesan profetik: pengorbanan ego demi persatuan dan kemanusiaan. Bila dibaca dengan pendekatan hukum profetik, ikrar tersebut merupakan panggilan spiritual untuk memanusiakan hukum dan membebaskannya dari dominasi kuasa ekonomi politik. Sebagaimana ditegaskan oleh Kelik Wardiono, keadilan harus bersandar pada “prophetic ethical values encompassing humanization, liberation, and transcendence,” yakni nilai kenabian yang menempatkan manusia, kebebasan, dan Tuhan dalam satu tarikan napas (Wardiono, Jurnal Tata Leksika, 2020).
Paradigma hukum profetik menawarkan terobosan epistemologis. Ia menolak hukum yang sekadar positivistik dan mengembalikan hukum kepada fungsinya sebagai penjaga martabat. Di sini letak novelty dari gagasan profetik: hukum bukan lagi instrumen kekuasaan, melainkan cermin nurani kolektif bangsa. Prof. Absori menyebut bahwa hukum berketuhanan lahir dari “kesadaran ilahiah untuk memuliakan kehidupan,” sebuah ajakan agar hukum dipraktikkan sebagai ibadah sosial, bukan alat politik (Absori, Pemikiran Hukum Profetik, 2018).
Namun kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. Banyak regulasi lahir tanpa menimbang nilai moral dan keberlanjutan kehidupan. Revisi undang-undang penting kerap menimbulkan kontroversi publik karena dianggap lebih berpihak pada kepentingan korporasi. Di sinilah peran pemuda menjadi signifikan sebagai jembatan antara idealisme dan realitas. Mereka mesti membawa kembali spirit profetik ke dalam ruang-ruang kekuasaan, menjadikan hukum sebagai instrumen pelayanan sosial dan penjaga kebenaran substantif.
Sumpah Pemuda mengajarkan bahwa persatuan tidak berarti menyeragamkan, melainkan menyatukan visi etis bangsa. Dalam hukum tata negara, itu berarti membangun tatanan yang tidak hanya efisien, tetapi juga berjiwa. Hukum harus hadir melindungi manusia dan alam, bukan menindas keduanya. Ketika hukum berhenti di tataran prosedur dan kehilangan rasa spiritualitas, maka ia tidak lebih dari perangkat administratif tanpa makna moral.
Krisis moral yang menjangkiti pejabat publik, politik uang yang merajalela, serta komodifikasi hukum menunjukkan hilangnya orientasi etik bangsa. Oleh karena itu, pemuda harus kembali menafsirkan Sumpah Pemuda sebagai konstitusi moral sebuah kesadaran untuk menjaga kemuliaan hukum melalui tindakan nyata: jujur, adil, dan berketuhanan. Tanggung jawab ini bukan beban generasi, tetapi panggilan sejarah.
Membangun negara hukum profetik berarti menegakkan kedaulatan moral di atas kedaulatan formal. Hukum tidak cukup dipahami sebagai kumpulan pasal, tetapi sebagai jalan menuju keselamatan sosial. Ketika hukum tunduk pada etika Ketuhanan dan dijalankan dengan niat memuliakan kehidupan, maka bangsa ini bukan hanya akan diingat sebagai negara hukum, melainkan negara yang berhukum dengan jiwa profetik sebuah peradaban yang berdiri di atas kebenaran, kasih, dan keadilan.






