Kendari, Sultrademo.co – Peringatan Hari Sumpah Pemuda setiap 28 Oktober bukan sekadar momentum historis, tetapi juga pengingat bahwa generasi muda memiliki kekuatan transformatif dalam menentukan arah masa depan bangsa. Semangat itu, sebagaimana pernah diungkapkan Ir. Soekarno, “Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia,” kini kembali relevan di tengah upaya Indonesia menapaki jalan menuju Indonesia Emas 2045.
Menurut Prof. Dr. A’an Johan Wahyudi, Sumpah Pemuda 1928 sejatinya bukan hanya ikrar persatuan wilayah daratan, tetapi juga pengakuan atas kesatuan darat dan laut sebagai identitas kebangsaan.
“Pemuda pada tahun 1928 telah menyadari bahwa kepulauan Indonesia bukanlah sekadar gugusan pulau yang dipisahkan oleh air, melainkan satu kesatuan utuh yang dihubungkan oleh laut,” ujarnya.
Ia menegaskan, ikrar “bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia” menjadi fondasi ideologis persatuan wilayah darat dan laut, yang kemudian diwujudkan secara teritorial melalui Deklarasi Djuanda 1957. Deklarasi ini menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan Nusantara dan menandai kebangkitan jati diri bangsa sebagai bangsa maritim yang pernah berjaya di samudra.
Kini, menjelang 2045, tantangan bagi generasi muda adalah mewujudkan visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia negara yang berdaulat, kuat, dan mandiri di laut.
“Pemuda Indonesia memiliki peran sentral dalam transformasi maritim,” kata Prof. A’an. Ia menjelaskan empat peran utama yang harus diemban generasi muda.
Pertama, pemuda sebagai penggerak riset dan inovasi kelautan. Mereka menjadi ujung tombak pengembangan teknologi maritim, eksplorasi energi terbarukan di laut, hingga bioteknologi kelautan.
“Konsep Ekonomi Biru yang menekankan pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan harus dipimpin oleh inovator muda yang melek teknologi dan berwawasan lingkungan,” tegasnya.
Kedua, pemuda sebagai penjaga kedaulatan dan lingkungan laut. Mereka diharapkan menjadi garda terdepan dalam melawan praktik illegal fishing, melakukan konservasi, dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem laut.
Ketiga, pemuda sebagai duta diplomasi maritim. Melalui forum internasional dan kerja sama riset lintas negara, mereka dapat memperjuangkan kepentingan maritim Indonesia di kancah global.
Keempat, pemuda sebagai motor penggerak SDM kelautan. Prof. A’an menilai, generasi muda perlu melihat sektor maritim sebagai peluang karir yang menjanjikan.
“Baik sebagai peneliti, pelaut profesional, ahli logistik, maupun wirausahawan perikanan modern, pemuda adalah tulang punggung masa depan maritim Indonesia,” katanya.
Ia menambahkan, pembangunan kemaritiman bukan pekerjaan instan, melainkan maraton lintas generasi. Generasi senior diharapkan menjadi mentor, penyedia data, dan pengambil keputusan strategis, sementara generasi produktif bertugas mengimplementasikan kebijakan dan membuka ruang bagi inovasi ocean-tech.
Adapun generasi muda, kata dia, harus menjadi motor perubahan yang berani berinovasi, menghubungkan teknologi baru dengan kearifan lokal masyarakat pesisir.
“Ketika Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan nanti, kita tidak hanya ingin merayakan usia matang, tetapi juga pencapaian sebagai negara maritim yang berdaulat, makmur, dan dihormati dunia,” tutur Prof. A’an.
Ia menutup refleksinya dengan pesan Bung Karno dalam Musyawarah Nasional Maritim I pada 23 September 1963:
“Indonesia tidak bisa menjadi negara yang kuat dan sejahtera jika kita tidak kembali menjadi bangsa bahari, bangsa pelaut sebagaimana kita kenal di zaman bahari itu.”
Semangat Sumpah Pemuda, kata Prof. A’an, harus menjadi dayung yang menggerakkan bangsa menuju kejayaan bahari.
“Laut bukan pemisah, melainkan anugerah yang harus kita cintai, jaga, dan kelola. Saatnya pemuda Indonesia berlayar menuju samudra peradaban.”
Laporan : Arini Triana Suci R







