Banjir Lumpur Rendam Sawah di Kolaka, PT Vale Berdalih Kolam Sedimen Tak Kuat Tampung Hujan

Kolaka, Sultrademo.coPT Vale Indonesia Tbk akhirnya buka suara terkait bencana banjir lumpur yang merusak ratusan hektare sawah di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra). Perusahaan tambang ini mengakui bahwa insiden tersebut bersumber dari area operasional mereka, tepatnya akibat kolam penampungan sedimen (sediment pond) yang gagal menahan debit air.

Head of Corporate Communication PT Vale Indonesia Tbk, Vanda Kusumaningrum, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/11/2025), menyebut cuaca sebagai faktor utama penyebab meluapnya lumpur ke lahan warga.

Bacaan Lainnya

“Kami memastikan bahwa kondisi tersebut disebabkan oleh curah hujan tinggi beberapa waktu terakhir yang menyebabkan pocket-pocket pond (kantong penampungan) meluap dan tidak dapat menampung volume air hujan tersebut,” ujar Vanda.

Pengakuan ini seolah menunjukkan ketidaksiapan infrastruktur penunjang tambang PT Vale dalam menghadapi kondisi cuaca ekstrem, padahal curah hujan tinggi merupakan fenomena alam yang seharusnya sudah masuk dalam perhitungan mitigasi risiko sejak awal.

Vanda mengklaim tim lapangan PT Vale kini telah bergerak melakukan perbaikan dan pengendalian untuk meminimalkan dampak. Pihaknya juga mengaku sedang mendata kerusakan lahan pertanian dan tambak warga di sekitar aliran Sungai Huko-Huko.

Meski ratusan hektare sawah terancam gagal panen akibat tertimbun material tanah merah bercampur kerikil, PT Vale tetap menyuarakan narasi normatif terkait komitmen operasional mereka.

“Kejadiaan ini bukanlah hal yang diharapkan, karena komitmen PT Vale adalah menjalankan operasional dengan tetap memperhatikan kaidah pertambangan yang baik (Good Mining Practice),” klaim Vanda.

Pernyataan ini terdengar kontradiktif dengan fakta di lapangan, di mana lumpur dari area konsesi perusahaan telah mencemari lingkungan dan merugikan petani di Desa Lamedai dan Desa Oko-oko. Vanda menambahkan bahwa seluruh rencana pengelolaan lingkungan termasuk AMDAL, RKL, dan RPL telah disusun melalui konsultasi publik.

Namun, realitas jebolnya penampungan sedimen ini memunculkan pertanyaan besar terkait efektivitas implementasi dokumen lingkungan tersebut di lapangan, khususnya di wilayah Pomalaa yang saat ini masih dalam tahap konstruksi dan pembangunan infrastruktur.

“Meskipun belum memasuki tahap produksi, langkah-langkah perlindungan lingkungan dan sosial telah diterapkan sejak dini untuk mengantisipasi potensi dampak,” dalihnya.

PT Vale menyatakan akan terus memantau kualitas udara dan air secara berkala bersama otoritas terkait. Namun bagi warga yang sawahnya sudah terlanjur rusak, langkah kuratif tersebut tidak serta merta mengembalikan mata pencaharian mereka yang hilang tertutup lumpur tambang.

Diberitakan sebelumnya, Direktur Eksekutif WALHI Sultra, Andi Rahman, menegaskan bahwa banjir lumpur di Desa Lamedai dan Desa Oko-oko bukanlah peristiwa alam biasa, melainkan konsekuensi dari kerusakan bentang alam yang sistematis.

Menurut WALHI, banjir ini adalah bukti nyata krisis ekologis akibat pembukaan lahan besar-besaran (land clearing) yang dilakukan oleh dua korporasi raksasa, yakni PT Indonesia Pomalaa Industry Park (IPIP) dan PT Vale Indonesia Tbk.

“Ini bukan bencana alam, tapi bencana buatan manusia. Hilangnya hutan di Pomalaa adalah bukti nyata lemahnya pengawasan pemerintah terhadap aktivitas industri nikel,” tegas Andi Rahman, Kamis (13/11/2025) lalu.

Pernyataan WALHI ini mematahkan klaim PT Vale yang menyebut pihaknya telah menjalankan kaidah pertambangan yang baik (Good Mining Practice).

Andi menyebut, pemantauan WALHI menunjukkan bahwa aktivitas industri di hulu telah menghilangkan tutupan hutan secara masif. Hal ini memicu sedimentasi ekstrem di Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga air sungai tak lagi mampu menampung limpasan hujan dan meluap menjadi lumpur merah yang merusak sawah serta sumber air warga.

“Kami sudah berkali-kali mengingatkan bahwa wilayah Pomalaa sedang berada di ambang krisis ekologis. Setiap kali hujan turun, masyarakat harus bersiap menghadapi banjir lumpur akibat kelalaian perusahaan,” ungkapnya.

PT Vale sebelumnya mengklaim bahwa seluruh rencana pengelolaan lingkungan, termasuk AMDAL, RKL, dan RPL, telah disusun melalui konsultasi publik. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya.

WALHI menilai baik PT Vale maupun PT IPIP telah mengabaikan mandat dalam izin lingkungan. Komitmen pengelolaan lahan dan pengendalian erosi dinilai tidak berjalan efektif, yang berujung pada pelanggaran hak masyarakat atas lingkungan yang sehat.

“PT IPIP dan PT Vale Indonesia tidak menghormati izin lingkungannya dan telah mengabaikan keselamatan rakyat,” kritik Andi.

Dampak dari jebolnya penampungan sedimen ini sangat fatal. Sejak Senin (10/11/2025), ratusan hektare sawah yang baru berusia dua bulan tertimbun material tambang, memaksa petani menghadapi ancaman gagal panen total.

Atas dasar itu, WALHI Sultra mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk tidak hanya diam. Andi menuntut penghentian sementara seluruh aktivitas pembukaan lahan, evaluasi menyeluruh terhadap izin lingkungan PT Vale dan PT IPIP, serta penegakan hukum berupa ganti rugi bagi warga terdampak.

Laporan: Muhammad Sulhijah

*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait