Oleh : Andi Rachman
Direktur WALHI Sulawesi Tenggara
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara boleh saja berbangga karena disebut sebagai salah satu dari sepuluh daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia pada triwulan III tahun 2025. Namun, angka pertumbuhan 5,65 persen itu tidak serta-merta mencerminkan kesejahteraan rakyat Sultra secara menyeluruh.
Pertama, bahwa pertumbuhan ekonomi Sultra masih bertumpu pada sektor pertambangan dan industri pengolahan nikel, terutama di kawasan industri. Aktivitas industri ini memang memberi kontribusi besar pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tetapi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Di banyak wilayah sekitar tambang, masyarakat justru menghadapi persoalan sosial, kerusakan lingkungan, dan hilangnya sumber penghidupan tradisional seperti pertanian dan perikanan.
Kedua, ketimpangan ekonomi antarwilayah semakin tajam. Pertumbuhan tertinggi justru terjadi di kantong-kantong industri besar, sementara daerah pedesaan, pesisir, dan kepulauan masih tertinggal. Akses terhadap layanan dasar seperti air bersih, kesehatan, dan pendidikan masih menjadi masalah nyata. Artinya, angka pertumbuhan tersebut lebih banyak dinikmati oleh korporasi besar dan investor, bukan oleh pelaku usaha mikro yang disebut-sebut menjadi fokus pemerintah.
Ketiga, dampak ekologis dari industrialisasi masif di Sulawesi Tenggara semakin terasa. Sungai-sungai di Konawe utara, Kolaka, dan Kabaena tercemar sedimen tambang, pesisir Morosi dipenuhi limbah, dan hutan di berbagai kabupaten terus terdegradasi akibat ekspansi izin tambang dan aktivitas PLTU batu bara. Semua ini memperparah krisis iklim dan mengancam keberlanjutan ruang hidup masyarakat.
Pernyataan bahwa pemerintah akan fokus memperkuat UMKM memang positif, namun hingga kini dukungan riil terhadap sektor tersebut masih minim. Banyak pelaku usaha kecil di kabupaten/kota belum mendapat akses modal, pelatihan, atau pasar yang memadai. Sementara itu, anggaran besar justru terserap untuk infrastruktur pendukung industri nikel dan energi fosil.
Dengan demikian, angka pertumbuhan ekonomi 5,65 persen tidak cukup dijadikan ukuran keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan tanpa keadilan ekologis dan sosial hanya akan memperlebar jurang ketimpangan dan meninggalkan masyarakat lokal dalam bayang-bayang eksploitasi sumber daya alam.
Yang dibutuhkan Sulawesi Tenggara saat ini bukan hanya ekonomi yang tumbuh, tetapi pembangunan yang berpihak pada rakyat, berkeadilan lingkungan, dan berkelanjutan.







