Dinamika Politik Elektoral di Indonesia: Partai, Caleg, Dapil, dan Budaya Lokal

Baso Affandi S.H Konsultan Politik

Oleh: Baso Affandi
Demokrasi di Indonesia tumbuh di atas fondasi yang sangat majemuk, dari sisi sosial, budaya, ekonomi dan politiknya tidak pernah seragam. Di antara semua ruang demokrasi itu, pemilihan umum (PEMILU) legislatif adalah ajang paling rumit, tempat di mana sistem politik, struktur hukum, dan perilaku sosial saling bersinggungan membentuk satu mozaik besar yang disebut politik elektoral.

Bagi sebagian orang, pemilu legislatif (PILEG) hanyalah kontestasi antar partai atau tidak lebih dari rutinitas periodik. Namun, sesungguhnya ia jauh lebih kompleks dari sekadar perebutan kursi. Di balik setiap suara yang dikonversi menjadi kursi DPR, ada logika politik yang saling bertabrakan, seperti strategi partai, kepentingan caleg, struktur daerah pemilihan (Dapil), serta karakter budaya lokal yang membentuk perilaku pemilih.

Bacaan Lainnya

Sistem Politik dan Dasar Yuridis Pemilu Legislatif

Secara yuridis, dasar penyelenggaraan pemilu di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 22E yang menegaskan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD
Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur secara rinci sistem, tahapan, dan mekanisme penyelenggaraan pemilu legislatif. UU tersebut menegaskan bahwa pemilu legislatif di Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka (Pasal 168 ayat 2), di mana rakyat memberikan suara kepada calon anggota legislatif secara langsung.

Implikasi yang ditimbulkan begitu dasyat, partai politik tidak lagi menjadi satu-satunya penentu siapa yang duduk di parlemen. Caleg harus membangun basis dukungannya sendiri, bersaing bukan hanya antar partai, tetapi juga di dalam partai. Inilah yang menjadikan politik elektoral Indonesia memiliki kompleksitas yang unik dan khas.

Partai Politik Mesin yang Tak Selalu Efisien

Partai politik sejatinya adalah jantung demokrasi. Ia berfungsi sebagai pengusung, penyaring calon, sekaligus penghubung antara negara dan rakyat. Namun, dalam praktiknya, partai di Indonesia seringkali menghadapi dilema struktural dan kultural.

Secara struktural, banyak partai yang belum sepenuhnya memiliki manajemen internal yang solid dan basis ideologis yang kuat. Kandidat sering kali lebih didorong oleh popularitas dan kemampuan finansial ketimbang kualitas politik dan kapasitas representatif. Akibatnya, fungsi rekrutmen politik melemah, dan pemenangan pemilu sering bergeser menjadi pertarungan individu ketimbang pertarungan gagasan.

Dalam konteks hukum, Pasal 11 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2011 (tentang Partai Politik) menegaskan bahwa partai wajib melakukan rekrutmen politik secara demokratis. Namun realitas di lapangan sering tidak seideal bunyi pasalnya. Proses seleksi caleg kerap menjadi ruang kompromi kepentingan antara elite pusat dan daerah.

Maka, partai menjadi arena negosiasi yang rumit antara kepentingan ideologis, pragmatis, dan elektoral. Di sinilah muncul paradoks bahwa partai adalah mesin utama demokrasi, namun sering kali justru menjadi sumber pertama dari kompleksitas elektoral itu sendiri.

Caleg, Antara Kompetisi Internal dan Ketergantungan Struktural

Bagi seorang calon legislatif, peta perjuangan tidak pernah sederhana. Di dalam sistem proporsional terbuka, caleg berhadapan dengan dua medan tempur, yakni kompetisi eksternal antar partai, dan kompetisi internal antar caleg di satu partai.

Kompetisi internal ini sering kali justru lebih sengit. Setiap caleg harus membangun jaringan, membiayai kampanye sendiri, bahkan bersaing mendapatkan dukungan dari struktur partainya sendiri. Tidak jarang terjadi tumpang tindih wilayah kampanye, konflik tim, hingga fragmentasi dukungan di tingkat lokal.

Dalam situasi demikian, strategi personal menjadi krusial. Data lapangan menunjukkan bahwa caleg yang mampu memadukan pendekatan personal dan basis sosial yang kuat cenderung memiliki peluang lebih besar, bahkan dibanding caleg dengan modal finansial besar namun tanpa struktur dukungan yang rapi.

Kunci kemenangan tidak hanya pada dana, tetapi pada kapasitas membaca medan elektoral secara ilmiah dan strategis, bagaimana memahami karakter pemilih, memetakan kekuatan lawan, dan menyesuaikan pesan kampanye dengan konteks lokal.

Dapil, Arena Kompetisi yang Asimetris

Dapil (Daerah Pemilihan) adalah ruang geografi sekaligus ruang politik. Dalam satu dapil bisa terdapat perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya yang sangat tajam. Karena itulah pemetaan dapil menjadi instrumen vital dalam perencanaan kampanye legislatif.

Secara hukum, pembentukan dapil diatur oleh Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penataan Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Prinsipnya, penetapan dapil harus mempertimbangkan kesetaraan jumlah penduduk, kesinambungan wilayah, serta kohesivitas sosial. Namun, di lapangan, dapil sering kali menjadi arena ketimpangan strategis.

Ada dapil yang sangat luas dengan populasi tersebar, sehingga membutuhkan biaya kampanye tinggi. Ada pula dapil padat dengan karakter pemilih yang sangat cair, di mana faktor personalisasi dan isu lokal lebih menentukan. Caleg harus mampu menyesuaikan strategi komunikasi dan logistiknya dengan karakter sosial dapilnya karena setiap wilayah memiliki “ritme politik” yang berbeda.

Budaya Lokal, Politik Sebagai Jaringan Sosial

Tidak ada pemilu tanpa konteks budaya. Indonesia yang majemuk menjadikan setiap daerah memiliki corak politiknya sendiri. Di beberapa wilayah, politik masih sangat kental dengan nilai patronase, di mana pemilih cenderung mengikuti tokoh adat, tokoh agama, atau pemimpin komunitas. Di wilayah lain, politik justru bersifat rasional dan berbasis isu.

Budaya lokal membentuk cara orang melihat politik, misal bagaimana mereka memaknai janji, menilai integritas, dan menentukan pilihan. Karena itu, strategi pemenangan harus sensitif terhadap konteks lokal. Pendekatan di Minahasa tentu berbeda dengan di Bone atau Mandar, sebagaimana strategi di perkotaan tak bisa disamakan dengan pedesaan.

Sosiolog Clifford Geertz menulis bahwa politik di masyarakat majemuk adalah “drama sosial” yang selalu mencari keseimbangan antara nilai tradisional dan modernitas. Pandangan ini relevan untuk Indonesia, dimana kampanye yang sukses adalah kampanye yang memahami bahasa budaya masyarakatnya sendiri.

Politik Elektoral sebagai Ilmu dan Seni
Memahami kompleksitas politik elektoral di Indonesia bukan hanya soal menghafal peraturan pemilu, tetapi membaca realitas sosial dan perilaku politik secara utuh.
Partai adalah mesin, caleg adalah aktor, dapil adalah panggung, dan budaya lokal adalah naskah yang menentukan arah drama politik itu sendiri. Tanpa pemahaman mendalam terhadap keempat unsur ini, kampanye legislatif akan berjalan tanpa arah, ia akan berlalu tak lebih dari sekedar rutinitas lima tahunan tanpa strategi yang bermakna.

Maka, politik elektoral harus dipandang sebagai perpaduan antara ilmu dan seni. Ilmu memberi kerangka analisis dan metode, sementara seni memberi intuisi dan sentuhan budaya. Keduanya harus berjalan beriringan agar demokrasi tidak hanya hidup di atas kertas, tetapi benar-benar tumbuh di tengah masyarakat.***

*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait