Indonesia Belum Layak Jual Karbon, Jika Belum Cukup Berkomitmen Menurunkan Emisi

Oplus_131072

Jakarta, Sultrademo.co Ambisi Indonesia untuk menjadi pemain utama dalam perdagangan karbon tampaknya perlu ditinjau ulang. Di tengah sorotan dunia pada Konferensi Iklim COP30 di Belem, Brasil, kalangan masyarakat sipil mengingatkan bahwa Indonesia belum layak menjual karbon di bawah Article 6 Perjanjian Paris.

Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad menegaskan, sebelum menjual kredit karbon ke luar negeri, pemerintah harus memastikan pencapaian target penurunan emisi nasional (NDC) terlebih dahulu.

Bacaan Lainnya

“Kalau target nasional belum tercapai, menjual kredit karbon ke luar negeri justru bisa membuat kita kehilangan kesempatan untuk menurunkan emisi sendiri,” ujarnya, Rabu (13/11/2025)

Nadia mengutip Indonesia First Biennial Transparency Report (2024) yang diterbitkan pada 6 Mei 2025. Laporan itu menunjukkan bahwa capaian penurunan emisi Indonesia pada 2019 masih berada di atas target penurunan emisi yang seharusnya (Countermeasure 1). Emisi sempat sejajar dengan target (Countermeasure 2) pada tahun 2020 saat pandemi COVID-19, namun kembali meningkat setelahnya.

“Artinya, kita bahkan belum sepenuhnya berada di jalur yang tepat dalam penurunan emisi,” kata Nadia.

Sementara itu, di arena COP30, pemerintah justru tampil percaya diri. Pada hari pembukaan konferensi, Paviliun Indonesia menggelar forum Sellers Meet Buyers yang mempertemukan calon penjual dan pembeli kredit karbon internasional. Dalam forum tersebut, pemerintah memperkenalkan 44 proyek karbon dengan potensi total sekitar 90 juta ton setara karbondioksida (CO₂e).

“COP30 adalah momentum pembuktian bahwa kredit karbon berintegritas menghadirkan nilai ganda, menurunkan emisi dan mendorong ekonomi,” ujar Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq saat itu.

“Dengan dukungan sektor perbankan dan dunia usaha, Indonesia siap memimpin pasar dengan standar tinggi serta manfaat yang inklusif.”

Namun menurut Nadia, perdagangan karbon tidak boleh dijadikan jalan pintas. Article 6.1 Perjanjian Paris dengan jelas menyatakan bahwa mekanisme kerja sama internasional ini seharusnya digunakan untuk meningkatkan ambisi iklim, bukan sekadar mencari efisiensi biaya atau melonggarkan target nasional.

Prinsip ini sejalan dengan Oxford Principles for Responsible Engagement with Article 6, yang menegaskan bahwa negara hanya layak terlibat jika telah berada di jalur net-zero berbasis sains.

Jika kondisi NDC Indonesia masih jauh dari sains iklim, penjualan kredit karbon justru berisiko menjadi bentuk greenwashing internasional di mana negara maju membeli karbon murah tanpa benar-benar meningkatkan ambisi global.

Penilaian serupa juga datang dari Climate Action Tracker (CAT) yang menilai komitmen iklim Indonesia masih dalam kategori critically insufficient untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5°C. Dengan target saat ini, kontribusi Indonesia bahkan mengarah pada skenario pemanasan hingga 4°C.

Iqbal Damanik dari Greenpeace menilai situasi ini mencerminkan paradoks. “Pasar karbon terus dipromosikan, sementara di dalam negeri kita masih berkutat dengan masalah FPIC (Free, Prior, and Informed Consent), hak masyarakat adat, deforestasi, dan ketergantungan energi fosil,” ujarnya.

“Selama NDC kita masih critically insufficient, Article 6 hanya menutupi kekurangan kebijakan domestik (implementation gap), bukan meningkatkan ambisi iklim (ambition gap).”

Selain itu, ketimpangan struktural antara negara penjual dan pembeli juga menjadi persoalan serius. Negara maju memiliki sumber daya dan kapasitas teknis jauh lebih besar, sementara negara berkembang seperti Indonesia berada dalam posisi tawar yang lemah.

Kondisi ini berpotensi menimbulkan “race to the bottom” negara berlomba menawarkan harga karbon serendah mungkin untuk menarik pembeli, dengan risiko mengorbankan standar sosial dan lingkungan. Akibatnya, masyarakat adat dan lokal yang menjaga ekosistem justru terpinggirkan.

Apalagi, hingga kini Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat belum juga disahkan. Padahal, masyarakat adat adalah garda terdepan dalam menjaga hutan dan ekosistem penyerap karbon.

“Pemerintah terlihat lebih sibuk menyiapkan mekanisme perdagangan karbon dan NEK (Nilai Ekonomi Karbon) yang katanya inklusif, daripada menuntaskan perlindungan hukum bagi masyarakat adat yang selama ini menjaga karbonnya,” kata Iqbal.

Ketiadaan payung hukum ini membuat posisi masyarakat adat tetap rentan baik terhadap perampasan wilayah, maupun terhadap proyek karbon yang bisa tumpang tindih dengan hak kelola tradisional mereka.

Pemerintah Indonesia memang telah menyiapkan perangkat regulasi untuk mendukung perdagangan karbon, termasuk Perpres No. 110/2023 tentang Nilai Ekonomi Karbon dan sistem registri nasional karbon (SRN-PPI). Wakil delegasi Indonesia di COP30, Eddy Soeparno, menilai sistem pasar karbon Indonesia “sudah sangat aplikatif” dan siap menarik investor internasional.

Namun, banyak tantangan mendasar yang belum terselesaikan. Mulai dari lemahnya koordinasi antar instansi, belum kuatnya integritas data emisi, hingga minimnya pelibatan masyarakat adat dan lokal.

Di sisi lain, Nadia mengingatkan bahwa “karbon berkualitas tinggi” juga harus memenuhi kriteria seperti additionality, permanence, dapat diverifikasi, bebas dari perhitungan ganda (double counting) dan kebocoran (leakage), serta transparan dan akuntabel.

“Proses untuk memastikan semua kriteria ini tidak sederhana dan memakan waktu panjang,” ujarnya.

“Jadi, tidak mudah bagi kita untuk mengklaim bahwa karbon Indonesia sudah berkualitas tinggi.”

Kekhawatiran lain datang dari munculnya pasar karbon abu-abu yang rawan dimasuki makelar, rent-seeker, dan korporasi besar yang hanya mengejar keuntungan finansial. Lemahnya pengawasan serta minimnya pembagian manfaat bagi komunitas penjaga hutan bisa menjadikan mekanisme ini jebakan baru, bukan solusi iklim.

Pada akhirnya, sesuai semangat Article 6 Perjanjian Paris, kerja sama internasional hanya layak dilakukan jika benar-benar bertujuan meningkatkan ambisi iklim dan menjaga integritas lingkungan, bukan sekadar mengejar keuntungan ekonomi.

Indonesia perlu memperkuat target iklim nasional agar sejalan dengan jalur 1,5°C, mempercepat transisi energi bersih, menghentikan deforestasi, serta memastikan hak masyarakat adat dan lokal diakui dan dilindungi.

Menjual karbon sebelum mencapai ambisi iklim nasional bukan hanya langkah prematur, tetapi juga berisiko melemahkan komitmen global menuju keadilan iklim.

Laporan: Muhammad Sulhijah

*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait