Jika Soeharto Pahlawan, Maka NU Ormas Kriminal

Oleh: Muhammad Sulhijah
Jurnalis Muda NU

WACANA menobatkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional yang terus digulirkan, terutama oleh pihak-pihak di lingkaran kekuasaan, adalah sebuah tindakan pemutihan sejarah yang tidak hanya naif, tetapi juga berbahaya. Lebih dari itu, upaya menormalisasi tragedi kemanusiaan Orde Baru ini secara implisit menempatkan para korban, termasuk Nahdlatul Ulama (NU), sebagai pihak yang bersalah.

Bacaan Lainnya

Mengutip pernyataan tegas KH. Musthofa Bisri (Gus Mus), “Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional. Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah.”

Ketidaksetujuan ini bukan soal memelihara dendam, melainkan menuntut kejujuran pada sejarah. Sebab, menobatkan Soeharto sebagai pahlawan nasional sama saja dengan melupakan, bahkan mengubah, sejarah kelam yang menyakitkan bagi NU dan kiai-kiai yang menjadi tulang punggung organisasi.

Hubungan antara Soeharto dan NU adalah kisah ironi politik yang pahit. NU pernah menjadi “pedang” bagi Soeharto dalam menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965. Bagaimana perannya yang melibatkan ribuan anggota Banser dan Ansor di lapangan. Namun, setelah kekuasaan Soeharto kokoh, aliansi rapuh itu retak, dan NU justru di-“PKI”-kan oleh rezim yang dulu dibantunya.

Represi dan intimidasi Orde Baru terhadap NU dilakukan secara sistematis. Mengutip dari Ken Ward (Gading: 2024) dalam bukunya, Kekerasan Politik dan Intimidasi bermula pada Pemilu 1971. Menjelang Pemilu 1971, intimidasi ABRI terhadap basis massa NU dan PNI terjadi secara masif. Kantor-kantor PCNU menjadi sasaran penahanan, pemukulan, dan pengancaman oleh aparat Babinsa. Anggota struktural NU dituduh melanggar aturan dan bahkan, dalam laporan Ken Ward, ada anggota NU yang dituduh membunuh aktivis Golkar.

Intimidasi ini semakin nyata dengan penggunaan simbol agama yang serampangan oleh Golkar, seperti menggembar-gemborkan slogan yang kontroversial.

Kemudian manipulasi Asas Tunggal (1983-1984). Intervensi Soeharto mencapai puncaknya melalui kebijakan Asas Tunggal Pancasila. Tuntutan ini menimbulkan kecurigaan besar di kalangan kiai, yang khawatir pemerintah hendak mengganti Islam dengan Pancasila sebagai asas organisasi.

Perdebatan sengit muncul di Munas Alim Ulama’ di Situbondo. Kiai seperti KH. Misbah Zainal Musthofa bahkan sampai menulis kegelisahannya dalam kitab tafsir “Al Iklil fii Ma’anil Qur’an Tanzil”, yang menegaskan bahwa penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi melanggar kaidah hukum syari’at. Dan perdebatan sengit ini pada akhirnya disudahi dengan keputusan K.H. Achmad Shiddiq bahwa Pancasila hanya sebagai dasar dalam bernegara dan dalam berorganisasi tetaplah berlandaskan kepada azas Islam ala Ahlusunnah Wal Jama’ah.

Pada akhirnya NU terpaksa menarik diri ke ranah sosial-religius dengan Khittah 1926, sebuah langkah mundur dari politik praktis demi mempertahankan eksistensi.

Selain itu, upaya pembunuhan Gus Dur merupakan dosa terbesar Orde Baru. Dimana pada waktu itu Soeharto berupaya melakukan pembungkaman dan pembunuhan terhadap figur sentral NU, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang vokal mengkritik KKN di media massa. Upaya percobaan pembunuhan yang disamarkan sebagai kecelakaan mobil terjadi pada 1995, di mana Kiai Rifa’i Romly justru menjadi korban karena bertukar mobil dengan Gus Dur.

Gus Dur adalah simbol perlawanan intelektual NU terhadap hegemoni Orde Baru. Perseteruan ini mencerminkan paranoia rezim. NU yang independen adalah ancaman yang harus dimusnahkan.

Kemudian Tragedi Dukun Santet Banyuwangi (1998-1999). Tragedi berdarah ini, yang terjadi menjelang dan sesudah jatuhnya Soeharto, menargetkan setidaknya 250 orang, yang sasarannya kemudian meluas pada para kiai dan guru ngaji di Tapal Kuda. Peristiwa ini dicurigai sebagai skenario politik untuk mendelegitimasi dan menakut-nakuti basis massa NU.

Dengan segala catatan hitam ini, mulai dari intimidasi, depolitisasi paksa, intervensi asas tunggal, upaya pembunuhan tokoh utama, hingga tragedi pembantaian dukun santet yang menyasar kiai bagaimana mungkin Soeharto layak dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional?

Jika Soeharto, seorang pemimpin yang merepresi, memenjarakan, mengancam, dan mencoba membunuh tokoh-tokoh ormas Islam terbesar di Indonesia, kemudian ditetapkan sebagai pahlawan, maka implikasinya sangat jelas. NU, yang dituduh subversif, dikriminalisasi, dan hampir dibunuh para ulamanya, secara moral dan historis dianggap pantas diperlakukan seperti itu oleh seorang “pahlawan” negara.

Upaya Sekjen PBNU yang juga Menteri Sosial, Gus Ipul, untuk mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah tindakan yang tidak mencerminkan sikap jujur pada sejarah NU sendiri.

Sebagaimana kata-kata Gus Dur yang legendaris. “Kita bisa saja memaafkan, tapi tidak untuk melupakan.”

Kita, sebagai generasi penerus, bisa memaafkan dosa-dosa Soeharto, tetapi TIDAK UNTUK MELUPAKANNYA. Melupakan adalah melintasi garis merah, membuka pintu bagi pemutarbalikan fakta, dan menghilangkan pelajaran penting bahwa kekuasaan absolut dapat mengkhianati sekutunya dan mengorbankan rakyatnya sendiri.

Pahlawan adalah simbol integritas dan keadilan. Soeharto, dengan warisan represi dan kekerasan terhadap NU, jelas-jelas tidak memenuhi kriteria tersebut. Menjadikannya pahlawan sama saja dengan menyatakan bahwa kejahatan Orde Baru terhadap kiai-kiai NU adalah hal yang benar. (**)

*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait