Belem, Sultrademo.co – Puluhan ribu aktivis lingkungan dan Masyarakat Adat turun ke jalan berunjuk rasa di Belem, Brasil, pada Sabtu, (15/11/2025).
Sembari bernyanyi, membentang spanduk dan memegang poster, kelompok masyarakat sipil ini menyampaikan pesan serta tuntutannya dalam perundingan iklim COP30 yang berlangsung di Belem, Brasil.
Di bawah teriknya matahari, Kelompok Masyarakat Adat memanjang spanduk bertuliskan “The Answer is Us” (Jawabannya adalah Kita) menegaskan peran penting Masyarakat Adat dalam mengatasi krisis iklim.
Selama ini, Masyarakat Adat mewarisi pengetahuan dan kemampuan dalam melindungi ekosistemnya; penjaga ekosistem terbaik dari sungai, hutan, gunung, hingga laut.
Demonstrasi Masyarakat Adat ini pertama kali terjadi sejak 2021. Pada tiga perundingan COP sebelumnya, tuan rumah penyelenggara COP tidak mengizinkan kelompok masyarakat sipil dan Masyarakat Adat menyampaikan tuntutannya di luar perundingan iklim.
Diperkirakan sedikitnya ada 30 ribu Masyarakat Adat mengikuti aksi unjuk rasa ini. Masyarakat Adat menyampaikan beberapa pesan dan tuntutan dalam perundingan iklim COP30 seperti perlindungan wilayah adat, partisipasi bermakna dalam mengatasi krisis iklim, perlindungan hak, hutan adat dan penghentian pemakaian energi fosil.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan, negosiasi yang terjadi di COP30 masih menafikan, meninggalkan dan meminggirkan peran Masyarakat Adat dalam mengatasi krisis iklim.
“Mereka terus mengacuhkan bukti terbaik dari ilmu pengetahuan modern yang menyatakan Masyarakat Adat adalah garda terdepan dalam mengatasi krisis iklim,” kata Rukka yang ikut dalam aksi tersebut.
Hingga pekan pertama pelaksanaan COP30, Masyarakat Adat belum melihat perkembangan yang signifikan dari ruang-ruang negosiasi terhadap perlindungan hak-hak dan tuntutannya.
Kekhawatiran Masyarakat Adat semakin besar ketika koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO) merilis laporan yang menyatakan ada 1.600 pelobi produsen bahan bakar fosil yang hadir di Belem. Kehadiran para pelobi ini dikhawatirkan akan menjegal tuntutan Masyarakat Adat.
Karena itu, Rukka menegaskan, Masyarakat Adat tidak bisa lagi melihat ini seperti businessas usual. Menurutnya, Masyarakat Adat akan terus menuntut haknya untuk menunjukkan kepada pemerintah bahwa 70 persen Masyarakat Adat di seluruh dunia telah ditindas.
Dia mengatakan, akses Masyarakat Adat terutama di Asia adalah hal yang paling serius. Dia prihatin dengan praktik militerisasi di Asia yang mengancam sumber daya alam, wilayah dan aktivitas Masyarakat Adat.
Rukka menuntut agar solusi palsu perubahan iklim segera dihentikan. Dia mendesak agar perusakan hutan yang selama ini dijaga oleh Masyarakat Adat itu juga segera disetop.
“Kita menuntut pemerintah supaya segera mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat, segera mensahkan RUU Masyarakat Adat, menghentikan perampasan wilayah adat yang sekarang terjadi, dan juga segera merealisasikan 1,4 juta hektare hutan adat yang sudah menjadi komitmen pemerintah Indonesia yang disampaikan secara resmi di 2030,” katanya.
Sembari menuntut hak, Masyarakat Adat akan tetap memberikan kontribusi dalam perlindungan terhadap krisis iklim.
“Kalian harus mengambil bagian dalam solusi iklim, karena jawaban dari semua ini bukan hanya Masyarakat Adat; melainkan Masyarakat Adat dan kalian semua; kita semua bersama. Jawabannya adalah kita,” kata Rukka.
Masyarakat Adat Papua juga turut hadir dalam aksi itu sembari membentangkan spanduk,”West Papua Is Not An Empty Land. Save Our Indigenous Forest.” Masyarakat
Adat Papua ingin menegaskan bahwa Tanah Papua memiliki kehidupan, sejarah, budaya, dan sumber daya alam yang kaya, yang tidak boleh dianggap sebagai wilayah yang tidak berpenghuni dan bisa seenaknya dieksploitasi.
Di Tanah Papua, negara terus mendorong konversi hutan berskala besar demi kepentingan komersial. “Negara cenderung berorientasi memanfaatkan hasil hutan untuk tujuan komersial yang terbukti merusak dan justru berperan sebagai driver of deforestation,” kata Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante.
Situasi di Tanah Papua juga jadi perhatian serius para Pakar HAM PBB. Dalam rilis resmi (4/11/2024), mereka menyampaikan keprihatinan dan catatan kritis atas revisi Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang dinilai memusatkan kewenangan dan mengikis kemampuan tata kelola Masyarakat Adat.
Revisi UU Otsus Papua, kata Pakar HAM PBB, malah memperburuk kemiskinan, persekusi, dan penggusuran terhadap Masyarakat Adat Papua, yang selama berabad-abad menghadapi diskriminasi dan militerisasi di wilayah adatnya yang kaya sumber daya.
Dalam laporan yang sama, Pakar HAM PBB menegaskan bahwa kebangkitan kembali program transmigrasi era kolonial turut mengancam kelangsungan budaya Masyarakat Adat.
Di Papua Barat, transmigrasi telah mempercepat pergeseran demografis dan budaya, mendorong asimilasi paksa, dan memperkecil ruang hidup masyarakat asli. “Hal ini akan mengurangi jumlah Masyarakat Adat yang tinggal di—dan memiliki kendali atas—tanah leluhur mereka.”
Jumlah Masyarakat Adat yang hadir dalam perhelatan COP kali ini adalah yang terbesar. Menteri Masyarakat Adat Brasil Sonia Guajajara mengatakan, setidaknya ada 3.000 Masyarakat Adat dari seluruh dunia hadir dalam COP30 di Belem yang membuktikan keanekaragaman Masyarakat Adat di dunia.
Dalam COP30 ini, Sonia mengatakan, Masyarakat Adat harus membuktikan dapat berkontribusi pada solusi, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
“Bukan dengan teknologi yang mahal. Solusinya ada di dalam tanah, kita lindungi alam yang telah kita bayar dengan nyawa kita sendiri. Kita memiliki sosiobioekonomi sebagai solusi kita untuk agenda iklim, tanpa bahan kimia tambahan, tanpa racun, tanpa eksploitasi,” katanya.
Sonia menyambut baik alokasi 20 persen dana Tropical Forest Forever Facility (TFFF) bagi Masyarakat Adat. Menurutnya, alokasi TFFF ini sebuah inovasi untuk pendanan iklim. Dia berharap Masyarakat Adat bisa bersatu memperluas dan memperkuat partisipasi kualitatif Masyarakat Adat dalam menghadapi masalah global.
Pada 2023 lalu, President Luiz Inácio Lula da Silva telah menunjuk Sonia sebagai menteri Masyarakat Adat pertama di Brasil. Ini menunjukkan komitmen pemerintah Brasil terhadap keberadaan Masyarakat Adat. Berbeda dengan Indonesia, meski Masyarakat Adat sudah diakui dalam pasal 18B UUD 1945, hingga sekarang peraturan turunannya belum tersedia.
Pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat tak kunjung disahkan hingga saat ini.
Laporan: Muhammad Sulhijah







