Menyeruput Kopi di Hari Pahlawan Menyalakan Kembali Api yang Nyaris Padam

Baso Affandi S.H Konsultan Politik

Oleh: Baso Affandi (penikmat hasil juang pahlawan)

Pagi tadi, 10 November 2025.
Udara terasa lembap oleh sisa hujan semalam. Di meja kerja, secangkir kopi hitam mengepul pelan. Aromanya menembus sunyi, seolah membawa percakapan lama dari masa yang jauh tentang perjuangan, pengorbanan, dan cita-cita yang tak pernah lekang oleh waktu. Hari ini, bangsa kembali memperingati Hari Pahlawan. Tapi di balik segala upacara dan simbol-simbol kenangan, tersisa satu pertanyaan sederhana: apa arti kepahlawanan bagi kita hari ini?

Bacaan Lainnya

Menyeruput kopi di pagi Hari Pahlawan bukan sekadar kebiasaan, tapi jeda untuk berpikir. Bahwa kemerdekaan bukan warisan yang bisa diwariskan begitu saja, melainkan tanggung jawab yang mesti dirawat setiap hari. Para pahlawan dahulu berjuang dengan darah, air mata, dan keyakinan. Kita kini ditantang untuk berjuang dengan integritas, kejujuran, dan kepedulian.

Setidaknya bagi saya ada delapan sifat para pahlawan sesungguhnya bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan cermin bagi siapa pun yang ingin hidup bermakna di masa kini.

Dari Rasa jadi Tanggung Jawab
Cinta tanah air bukan sekadar kata indah dalam pidato. Ia hidup dalam kesediaan untuk menjaga, membangun, dan menegakkan nilai keadilan di negeri sendiri. Bung Karno pernah mengingatkan bahwa menghormati jasa pahlawan adalah tanda bangsa besar. Namun yang lebih penting dari penghormatan adalah kelanjutan perjuangan. Mencintai Indonesia artinya menolak korupsi, menghindari kebohongan, dan menegakkan kejujuran, karena cinta sejati selalu diwujudkan dalam tindakan. Intinya jelas para pahlawan kita mencintai tanah air.

Ketika Takut Tak Lagi Jadi Alasan
Pahlawan sejati tidak pernah bebas dari rasa takut. Namun mereka berjalan, justru karena tahu bahwa diam lebih menakutkan daripada gagal. Jenderal Sudirman, yang tetap memimpin perang dengan paru-paru lemah, mengajarkan bahwa keberanian bukan soal fisik, melainkan kekuatan moral untuk tetap melangkah di jalan yang benar, sekalipun sendirian.

Godaan Kuasa & Pencitraan
Saat ini, ketika banyak orang ingin tampak benar ketimbang menjadi benar, kejujuran menjadi bentuk perjuangan baru. Agus Salim menunjukkan bahwa diplomasi tanpa integritas hanyalah sandiwara. Ia hidup sederhana, jujur dalam kata dan laku. Dalam dunia politik dan kekuasaan modern, kejujuran mungkin terlihat lamban, tapi hanya kejujuran yang bisa menumbuhkan kepercayaan yang menancapkan pondasi dari setiap kemajuan.

Disiplin sang Penulis
Kartini tidak sekadar bermimpi. Ia menulis dengan tekun setiap malam, menjadikan pena sebagai senjata untuk menembus sekat sosial. Dari kedisiplinannya, lahir perubahan besar. Hari ini, disiplin bukan lagi soal baris-berbaris, melainkan soal tanggung jawab pribadi yang sigap menepati janji, bekerja sungguh-sungguh, dan menunaikan kewajiban tanpa alasan.

Tak Ada Kemenangan yang Lahir Sendiri
Ki Hajar Dewantara paham bahwa perjuangan adalah kerja kolektif. Ia membangun pendidikan bukan dengan ego, tapi dengan kebersamaan. Gotong royong adalah denyut nadi bangsa ini. Namun sayang, di tengah era digital, banyak orang lebih sibuk membangun dinding ketimbang jembatan. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa bangsa ini hanya kuat ketika rakyatnya saling menopang, bukan saling menjatuhkan.

Membaca Zaman, Mengubah Arah Sejarah
Tan Malaka mengajarkan bahwa gagasan adalah peluru paling tajam dalam revolusi. Pahlawan tak hanya gagah di medan perang, tapi juga tajam dalam berpikir. Di masa kini, kecerdasan berarti berani membaca situasi, menimbang kebenaran, dan tidak mudah digiring oleh arus kebisingan informasi. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang berani berpikir jernih di tengah riuh propaganda.

Memberi Lebih dari yang Diminta
Cut Nyak Dien berjuang meski kehilangan segalanya. Teuku Umar menutup mata di medan perang dengan satu keyakinan, yakni kemerdekaan takkan lahir tanpa pengorbanan. Kini, pengorbanan tidak selalu berarti darah. Ia bisa berupa waktu, tenaga, atau bahkan kejujuran yang kita jaga di tengah sistem yang goyah. Karena sejatinya, memberi yang terbaik tanpa pamrih adalah bentuk kepahlawanan yang paling soft.

Keagungan Tak Perlu Panggung
Bung Hatta mungkin tak punya banyak harta, tapi ia memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga, seperti kehormatan diri. Hidup sederhana membuat seseorang fokus pada esensi, bukan kemewahan. Di era yang sibuk menampilkan citra, kesederhanaan menjadi sikap berani untuk berkata: “Aku cukup, asalkan benar.”

Api yang Tak Pernah Padam
Menyeruput kopi di pagi Hari Pahlawan ini membawa kesadaran bahwa pahlawan tidak pernah benar-benar mati. Mereka berdiam di hati setiap orang yang mau hidup dengan nilai. Dalam kesunyian, kita mendengar bisik mereka bahwa perjuangan belum selesai, hanya berganti bentuk.
Kini, pahlawan mungkin tidak lagi berseragam, tapi bisa jadi seorang guru di pelosok, petani yang jujur, relawan bencana, atau warga yang tetap menegakkan keadilan di lingkungannya.

Kita tidak perlu menjadi pahlawan besar untuk memberi makna. Cukup menyalakan api kecil di dalam diri, api kejujuran, keberanian, dan cinta tanah air agar bangsa ini tetap hangat oleh semangat yang pernah mereka nyalakan dengan darah dan doa.

Maka setiap kali kita menyeruput kopi di pagi hari, biarlah pertanyaan sederhana ini terlintas di hati. Apakah aku sudah berbuat sesuatu untuk negeri ini hari ini ?”

*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait