Oleh : Yani Taufik, A. Solihin Iskandar A dan Ahmadi Wardus
Sultra Etalase Mineral Global
Sulawesi Tenggara merupakan provinsi penghasil nikel terbesar di Indonesia dengan jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) 177 dan luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mencapai 288.963 Ha, menjadikan Sulawesi Tenggara sebagai etalase global penyediaan bahan baku industri nikel dunia. Wilayah Izin Usaha Pertambangan mencakup sembilan wilayah kabupaten/kota tersebar dari jazirah utara Sulawesi Tenggara hingga semenanjung Selatan gugusan pulau dalam wilayah otoritas provinsi Sulawesi Tenggara, mejadikan sultra berada dalam kepungan aktivitas pertambangan nikel.
Kekayaan sumber daya alam yang terkandung di wilayah bumi Anoa diyakini adalah sebuah anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Kekayaan ini oleh negara diyakini dapat digunakan untuk menjamin kesejahtraan bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan harapan tersebut, Negara diharapkan hadir sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam urusan menata kelola pemanfaatan sumber-sumber kekayaan tersebut sebagaimana dimaksud dalam pembukaan konstitusi dasar berbangsa dan bernegara.
Bagi Hasil Antara Pusat dan Daerah
Bagi hasil yang dilakukan terhadap penerimaan yang diperoleh dari sektor penambangan nikel diatur oleh pemerintah pusat sebagai pemegang hirarki kuasa tertinggi dan paling berwenang.
Dalil untuk kesejahtraan dan kemajuan bangsa, lalu negara hadir untuk menjamin tercapainya cita-cita luhur, dengan sejumlah perisai kebijakan mulai dari Undang – Undang No 3 Tahun 2020 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Peraturan Pemerintah No 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Aturan tersebut dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pengelolaan mineral dan batubara dalam rangka penerbitan perizinanuntuk investasi di bidang pertambangan nikel; pembinaan dan pengawasan; peningkatan nilai tambah mineral dan batubara; pengendalian produksi dan penjualan serta pengutamaan mineral dan batubara untuk kepentingan dalam negeri; penetapan target penerimaan negara; serta pengelolaan lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pascatambang (portal EITI Siklus Pembaharuan 17 Maret 2025 13:52:06)
Sebagaimana termuat dalam pedoman penyelenggaraan dan penatakelolaan mineral dan batu batu bara; penerimaan negara seolah menjadi muara dari semangat kebijakan investasi mineral yang ekploitatif untuk mencapai cita-cita pembangunan dan kesejahtraan rakyat. Ternyata praktek dari teori Good Mining Practice masih jauh panggang dari api.
Sumber penerimaan negara selain Pajak adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), lainnya adalah penerimaan Hibah. Penerimaan negara bukan pajak adalah sumber pendapatan negara yang sah dan menjadi penerimaan unggulan bagi daerah penghasil sumber daya alam. Prinsip belanja negara sebagaimana yang dirumuskan dalam APBN yang disalurkan kedaerah melalui kebijakan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Dana transfer yang bersumber dari kebijakan APBN tersebut terdiri dari beberapa Komponen antara lain; Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Nonfisik, Dana Desa, Dana Otsus, Dana Insentif Daerah (DID), dan lainnya.
Dana Alokasi Umum dilaksanakan dengan tujuan utama untuk melakukan pemerataan fiskal daerah, sedangkan Dana Alokasi Khusus bertujuan untuk mendukung prioritas nasional. Dana Otsus adalah dana khusus yang diberikan kepada daerah Otsus. Sedangkan Dana DBH Adalah dana bagi hasil yang bersumber dari pajak dan Sumberdaya Alam.
Secara umum pengertian dana bagi hasil adalah dana transfer yang bersumber dari APBN yang kemudian disalurkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara yang bersumber dari pengelolaan Sumberdaya alam di daerah. Selanjutnya DBH digunakan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah penghasil sumberdaya alam tersebut.
Lalu pertanyaan mendasar mengapa dikatakan Dana Bagi Hasil ??? Karena penghasilan dari pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerah, di kelola berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan selanjutnya seluruh penerimaan (royalty) dari pengelolaan sumberdaya alam tersebut di setor ke pusat. Pemerintah Pusat kemudian melakukan Re-distribusi dana yang dikumpulkan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ke masing-masing daerah penghasil SDA. Tabel 1 berikut menyajikan perhitungan Dana Bagi Hasil menurut UU No. 3 Tahun 2004 dan UU No. 1 tahun 2022.

K/K Pengolah; adalah presentase penerimaan yang dibagi hasilkan terhadap Kabupater/Kota
Tabel 1. Perhitungan Dana Bagi hasil berdasarkan UU No. 3 Tahun 2004 dan UU No. 1 Tahun 2022
Relasi bagi hasil sebagaimana diatur melalui dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana tabel distribusi di atas menggambarkan bahwa, persentase alokasi tidak hanya terjadi antara pusat dengan daerah (provinsi/kabupaten) penghasil, melainkan juga distribusi dilakukan kepada daerah pengolah, daerah perbatasan dan daerah lainnya dengan presentase tertentu.
Postur DBH Sulawesi Tanggara
Transfer pusat kedaerah sektor sumber daya alam (nikel) untuk wilayah provinsi Sulawesi Tenggara dalam 7 tahun terakhir mengalami kenaikan rata-rata 54,53%. Berikut uraian pertumbuhan TKDD provinsi Sulawesi Tenggara sejak tahun 2018 hingga tahun 2023 melonjak signifikan. Pada tahun 2019 mengalami kenaikan dari tahun 2018 sebesar 84,99% atau mencapai 655.250.000.000,00 dari yang sebelumnya hanya berada pada posisi 354.200.000.000,00. Pada tahun 2020 Kenaikan melemah hanya berkisar 18,13% dengan realisasi transfer sebesar 774.070.000.000,00. Pada tahun 2021 kenaikan fantastis terjadi mencapai 128,36% atau dengan jumlah transfer mencapai 1.767.650.000.000,00 dari transfer tahun sebelumnya. Lalu pada tahun 2022 kenaikan terus terjadi dengan presentase 91,49% atau sama dengan 3.384.830.000.000,00. Lalu ditahun 2023 kenaikan Kembali melemah dengan kisaran 37,75% dengan realisasi transfer 4.662.590.000.000,00. Ditahun 2024 hingga tahun 2025 adalah masa transisi dimana Indonesia sedang menghadapi proses pemilihan umum secara serentak dari pusat hingga ke daerah. Situasi ini sangat berdampak pada posisi keuangan negara demikian pula transfer DBH dari pusat kedaerah ditambah lagi keluarnya kebijakan keuangan untuk melakukan efesiensi TKDD hingga pada akhirnya transfer mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun sebelum menjadi minus (-45, 54%) atau senilai 2.539.200.000.000,00

Berdasarkan potret pertumbuhan DBH yang diuraikan sebelumnya, seharusnya tercermin dalam realisasi belanja daerah, sekaligus masyarakat dapat melakukan penelusuran (tracking) terhadap RPJMD yang disusun melalui kajian penggunaan dana DBH Provinsi Sulawesi Tenggara. Sederhananya bahwa dengan meningkatnya DBH harusnya dapat berdampak positif terhadap peningkatan ketersediaan layanan public dan pertumbuhan Pembangunan dalam lingkup wilayah Sulawesi Tenggara. Beberapa pertanyaan kritis kemudian lahir;
Apakah meningkatnya dana transfer bagi hasil sebanding dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat eksploitasi sumber daya alam yang terjadi?
Apakah Dana Bagi Hasil berkorelasi positif dengan layanan publik (Pendidikan, Kesehatan, meningkatnya lapangan kerja/UMKM, infrastuktur dsb) serta menurunnya angka kemiskinan di daerah ini?
Adakah bagian dari Dana Bagi Hasil tersebut sudah dialokasikan untuk pemulihan (recovery) atas kerusakan atau degradasi sumber daya alam dan lingkungan termasuk bergesernya ruang hidup masyarakat lokal disekitar wilayah tambang?
Seharusnya DBH yang diperoleh dapat digunakanm untuk paling tidak,
• Reklamasi dan revegetasi lahan bekas tambang, terutama pada wilayah yang menjadi daerah penghasil utama tambang.
• Peningkatan kapasitas pengawasan lingkungan hidup, seperti penyediaan alat uji kualitas air dan udara serta penguatan SDM di dinas lingkungan hidup.
• Pembangunan infrastruktur pengendalian dampak lingkungan, misalnya sistem drainase tambang, penataan daerah aliran sungai (DAS), dan pengelolaan limbah tambang.
Namun, nampaknya kegiatan tersebut masih sangat terbatas karena alokasi DBH untuk sektor lingkungan sering kecil dibanding kebutuhan nyata pemulihan ekosistem tambang.
Demikian pula jika dilihat dari peningkatan pelayanan publik, hingga saat ini peningkatan kuantitas maupun kualitas pelayanan publik dalam hal,
• Peningkatan infrastruktur publik (jalan, jembatan, air bersih, dan listrik) yang mendukung mobilitas masyarakat dan ekonomi lokal.
• Peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan, melalui pembangunan sekolah, puskesmas, serta peningkatan insentif bagi tenaga guru dan medis di wilayah terpencil.
• Dukungan terhadap pemberdayaan masyarakat lokal, termasuk pelatihan kerja dan program UMKM bagi warga sekitar tambang.
Hingga saat ini efektivitas penggunaan dana DBH untuk peningkatan layanan publik sering terkendala oleh ketidaktepatan perencanaan dan lemahnya pengawasan penggunaan DBH, sehingga manfaat langsung bagi masyarakat dapat dikatakan belum optimal.
DBH pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara berpotensi besar memperbaiki kerusakan lingkungan dan meningkatkan pelayanan publik, tetapi implementasinya masih perlu diperkuat melalui transparansi anggaran, perencanaan berbasis data lingkungan, dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan dana tersebut.







