Kolaka, Sultrademo.co – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tenggara (Sultra) mengecam keras banjir lumpur yang kembali merendam Desa Oko-Oko dan Desa Lamedai, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka.
Bencana yang berulang ini disebut sebagai bukti nyata krisis ekologis akibat aktivitas industri nikel yang tak terkendali.
Direktur Eksekutif WALHI Sultra, Andi Rahman, menyebut banjir tersebut bukan peristiwa alam biasa, melainkan konsekuensi langsung dari pembukaan lahan besar-besaran oleh dua perusahaan tambang dan industri nikel yakni PT Indonesia Pomalaa Industry Park (IPIP) dan PT Vale Indonesia Tbk.
“Kami sudah berkali-kali mengingatkan bahwa wilayah Pomalaa sedang berada di ambang krisis ekologis. Setiap kali hujan turun, masyarakat harus bersiap menghadapi banjir lumpur akibat kelalaian perusahaan,” ujar Andi Rahman dalam keterangan tertulis, Kamis (13/11/2025).
Berdasarkan hasil pemantauan WALHI Sultra, aktivitas pembukaan lahan untuk kawasan industri di Pomalaa menyebabkan hilangnya tutupan hutan dan meningkatnya sedimentasi di Daerah Aliran Sungai (DAS).
Akibatnya, air sungai tak lagi mampu menampung limpasan air hujan, memicu luapan lumpur yang menenggelamkan rumah dan lahan pertanian warga.
Air sungai kini berubah warna menjadi merah pekat, mencemari sumber air bersih dan merusak ekosistem sekitar. Kondisi itu memperparah beban hidup warga yang bergantung pada pertanian dan sumber air lokal.
“Ini bukan bencana alam, tapi bencana buatan manusia. Hilangnya hutan di Pomalaa adalah bukti nyata lemahnya pengawasan pemerintah terhadap aktivitas industri nikel,” kata Andi.
WALHI menilai, baik PT Vale Indonesia maupun PT IPIP tidak menjalankan kewajiban sesuai izin lingkungan yang dimiliki. Banyak komitmen dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) diabaikan. Mulai dari pengelolaan lahan, pengendalian erosi, hingga pemulihan ekosistem.
Akibat kelalaian itu, masyarakat menjadi korban berulang. Hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945, kembali dilanggar.
“PT IPIP dan PT Vale Indonesia tidak menghormati izin lingkungannya dan telah mengabaikan keselamatan rakyat,” tegas Andi.
Karena itu, Andi mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil langkah tegas terhadap dua perusahaan tersebut.
Ia menuntut penghentian seluruh aktivitas pembukaan lahan yang tidak sesuai izin, kemudian mengevaluasi menyeluruh terhadap izin lingkungan PT IPIP dan PT Vale, serta penegakan tanggung jawab pemulihan lingkungan dan ganti rugi bagi masyarakat terdampak.
“Bencana ekologis di Pomalaa tidak boleh lagi dianggap sebagai peristiwa alam semata. Ini adalah akibat langsung dari kebijakan industri yang abai terhadap keselamatan rakyat dan keberlanjutan lingkungan,” tutup Andi.
Laporan: Muhammad Sulhijah







