Kendari, Sultrademo.co – Setiap 30 September, bangsa Indonesia kembali diingatkan pada salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah: Gerakan 30 September (G30S) 1965. Lebih dari setengah abad berlalu, luka sejarah itu belum sepenuhnya pulih. Narasi tunggal yang dibentuk rezim Orde Baru masih terus memengaruhi pemahaman generasi muda hari ini.
Sebuah survei Tirto dan Jakpat mengungkap mayoritas anak muda (59 persen) mengenal G30S lewat pelajaran sekolah. Sementara hanya 37 persen yang berusaha menggali sumber alternatif, seperti buku dan film dokumenter. Menariknya, film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI masih menjadi salah satu rujukan utama.
Sejarawan Andi Achdian menilai temuan ini menunjukkan paradoks. Anak muda hari ini memang lebih objektif karena tidak lagi dibayangi trauma politik Orde Baru. Namun pengetahuan mereka tetap sepotong-sepotong, karena masih bersumber pada versi resmi negara.
“Yang mainstream itu yang masih juga dipilih. Produk pemerintah yang dominan. Saya mau bilang tekanannya ada pemahaman yang tidak lengkap tentang sejarah masa lalu,” ujar Andi dikutip dari Tirto, Rabu (24/9/2025).
Menurutnya, dominasi narasi resmi merupakan konsekuensi dari pendidikan formal dan budaya populer yang disokong penguasa selama puluhan tahun. Sumber alternatif memang ada, tapi sulit dijangkau publik luas. Akibatnya, kesadaran kritis sulit tumbuh karena anak muda cenderung menerima begitu saja versi yang diwariskan.
“Kesadaran kritis hanya bisa berkembang dengan dibarengi dialog. Kalau hanya mengandalkan informasi satu arah, kita hanya tahu tapi tidak bisa mengubah apa pun. Dialog itu penting, baik di lembaga pendidikan maupun ruang-ruang diskusi informal,” jelasnya.
Hasil survei juga menunjukkan mayoritas responden masih memandang G30S sebagai peristiwa pembunuhan jenderal di Lubang Buaya serta pengkhianatan PKI. Hanya sekitar 50 persen yang menyinggung G30S sebagai awal dari pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI.
Andi menilai, pola ini menegaskan betapa kuatnya narasi resmi yang menutup ruang bagi perspektif lain. Korban tragedi 1965–1966, kata dia, tetap dipandang bersalah meski hingga kini tidak pernah ada proses peradilan yang jelas.
“Informasinya berdasar versi mainstream. Orang dipenjara, dibunuh, tapi tidak jelas salahnya apa. Itu problem sejarah kita. Maka diperlukan ruang dialog agar generasi muda bisa lebih kritis, tidak terjebak pada pemahaman yang dangkal dan parsial,” tegasnya.
Di tengah banjir informasi digital, Andi mengingatkan bahwa masalah anak muda bukan kurang tahu, melainkan justru kebanjiran informasi tanpa arah. Karena itu, ruang dialog terbuka menjadi kunci agar generasi mendatang mampu membangun kesadaran sejarah yang lebih adil dan komprehensif.
Laporan: Arini Triana Suci R
Sumber : tirto.id