Keputusan Presiden Reformasi Polri: Langkah Mendesak yang Belum Menjadi Jawaban Akhir

Oleh: A. Muhammad Hasgar A.S., S.H., M.H.
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Gelombang Reformasi dan Keterbatasan Legalitas

Bacaan Lainnya

Menjelang penghujung tahun 2025, wacana reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali menyeruak ke permukaan. Pemerintah, melalui Presiden Prabowo Subianto, tengah menyiapkan pembentukan Komite Reformasi Kepolisian Nasional yang akan dilembagakan melalui Keputusan Presiden (Keppres).
Nama-nama tokoh publik seperti Mahfud MD dan Yusril Ihza Mahendra dikabarkan akan duduk di dalam struktur komite tersebut. Inisiatif ini muncul sebagai respons terhadap merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri, yang terus dirundung kasus pelanggaran etik, penyalahgunaan kewenangan, dan tindak kekerasan aparat dalam penegakan hukum.

Terlepas dari apresiasi terhadap niat pemerintah memperbaiki sistem kepolisian, langkah tersebut mesti dipahami dalam batas kerangka hukum yang berlaku. Secara normatif, Keppres bukanlah instrumen regulatif yang menciptakan norma hukum umum, melainkan keputusan administratif (beschikking) yang bersifat konkret dan

individual. Oleh sebab itu, meskipun secara legal sah dijadikan dasar pembentukan komite atau tim ad hoc, Keppres tidak memiliki kapasitas untuk menetapkan kebijakan struktural maupun mengubah norma dalam sistem kelembagaan Polri.

Dengan demikian, Keppres Reformasi Polri hanya dapat dianggap sebagai bentuk intervensi administratif yang penting namun terbatas, bukan sebagai perangkat hukum yang mampu melakukan pembaruan sistemik secara langsung.

Menempatkan Keppres dalam Arus Politik dan Sistem Hukum Nasional

Apabila ditinjau dari ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Keppres tidak termasuk dalam hierarki norma hukum nasional. Kendati demikian, dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, Keppres kerap digunakan sebagai sarana pelaksanaan kewenangan Presiden yang bersifat atribusional maupun delegatif.

Dalam konteks reformasi Polri, Keppres menjadi alat kebijakan (policy instrument) yang dapat memicu perubahan dan mengawali lahirnya kebijakan hukum baru. Ia berperan sebagai triggering instrument—pembuka jalan menuju penataan hukum yang lebih komprehensif. Namun,

efektivitas Keppres sepenuhnya bergantung pada keseriusan pemerintah menindaklanjuti hasil kerja komite melalui instrumen hukum yang memiliki daya ikat lebih kuat, seperti Peraturan Presiden (Perpres) atau bahkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tanpa tindak lanjut demikian, rekomendasi Komite Reformasi Polri berpotensi berhenti pada tataran administratif, sekadar menjadi dokumen politis tanpa makna hukum substantif.
Berbagai kelompok masyarakat sipil pun telah menyuarakan hal serupa. Mereka menegaskan bahwa keberhasilan komite akan bergantung pada independensi dan transparansi proses reformasi. Reformasi yang tidak memegang dua prinsip itu hanya akan memperkuat persepsi publik bahwa perubahan Polri bersifat kosmetik semata.

Akuntabilitas dan Risiko Tumpang Tindih Lembaga Reformasi

Di tengah upaya pembentukan Komite Reformasi, Polri juga membentuk Tim Transformasi Internal Polri yang beranggotakan 52 perwira tinggi. Inisiatif internal tersebut menimbulkan pertanyaan publik mengenai koordinasi dan pembagian peran antara tim internal dan komite eksternal. Tanpa kerangka koordinatif yang tegas, agenda reformasi justru berpotensi berjalan tumpang tindih dan kehilangan arah substantifnya.

Dari sudut pandang teoritik, reformasi institusional tidak semata-mata membutuhkan lembaga baru, tetapi lebih pada rekonstruksi sistem pengawasan dan akuntabilitas yang mampu memastikan penegakan hukum berjalan sejalan dengan nilai-nilai publik. Dalam kerangka itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) harus diperkuat peran dan kewenangannya, terutama dalam aspek pengawasan etik dan investigasi terhadap pelanggaran aparat.
Lebih jauh, Polri juga perlu membuka kanal pengawasan publik berbasis digital, agar masyarakat dapat terlibat langsung dalam menilai dan melaporkan pelanggaran di lapangan.

Agar tidak kehilangan arah, keberadaan Komite Reformasi Polri semestinya dibatasi melalui ketentuan masa tugas (sunset clause) dan tolok ukur kinerja yang terukur. Selain itu, hasil kerjanya harus dievaluasi secara terbuka oleh lembaga independen seperti Ombudsman RI atau dewan etik nasional. Langkah ini penting untuk menjamin objektivitas serta menghindari bias politik dalam proses reformasi.

Kerangka Bertingkat: Tiga Lapis Reformasi Hukum Kepolisian

Reformasi Polri yang diharapkan tidak boleh berhenti sebagai wacana administratif. Diperlukan desain hukum bertingkat agar pembaruan berjalan berkesinambungan. Kerangka tersebut mencakup:

1. Lapis administratif (Keppres): menjadi dasar pembentukan Komite Reformasi Polri, lengkap dengan mandat, masa kerja, serta mekanisme pelaporan yang transparan.

2. Lapis regulatif (Perpres): digunakan untuk mengubah rekomendasi komite menjadi norma hukum operasional yang mencakup sistem pengawasan, kode etik profesi, dan tata cara penegakan disiplin.

3. Lapis legislasi (Undang-Undang): diwujudkan melalui revisi UU No. 2 Tahun 2002, yang memperkuat akuntabilitas eksternal, memperjelas batas kewenangan diskresi, dan menegaskan relasi kelembagaan Polri dengan lembaga penegak hukum lainnya.

Pendekatan bertahap ini diperlukan agar reformasi kepolisian tidak hanya menjadi respons sesaat terhadap krisis, tetapi menjadi agenda hukum jangka panjang yang mampu memperkuat legitimasi demokrasi dan menjamin supremasi hukum di Indonesia.

Kesimpulan: Dari Inisiatif Politik Menuju Tanggung Jawab Hukum

Tidak dapat disangkal, Keppres Reformasi Polri merupakan momentum penting untuk menegaskan arah pembaruan institusional kepolisian. Namun, secara konseptual, Keppres hanyalah batu pijakan awal. Reformasi kepolisian yang sejati baru akan terwujud bila Keppres tersebut diikuti oleh peraturan presiden dan amandemen undang-undang yang memperluas daya ikat hukum serta mengatur akuntabilitas secara menyeluruh.

Reformasi Polri tidak cukup berhenti pada aspek moralitas aparat; ia menuntut rekonstruksi struktur hukum dan tata kelola lembaga agar sejalan dengan prinsip checks and balances. Keppres Reformasi Polri harus dimaknai sebagai gerbang awal menuju sistem penegakan hukum yang profesional, transparan, dan berorientasi pada pelayanan publik serta perlindungan hak asasi warga negara.

Tentang Penulis:
A. Muhammad Hasgar A.S., S.H., M.H. adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Ia aktif meneliti bidang hukum tata negara, kebijakan publik, dan reformasi kelembagaan penegakan hukum.

Kata Kunci: Keputusan Presiden, Reformasi Kepolisian, Negara Hukum, Akuntabilitas Publik

*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait