Ketika Badan Penghubung Jadi Alat Kekuasaan “Birokrasi yang Kehilangan Hati”

Peristiwa pengusiran dan pelaporan mahasiswa asal Sulawesi Tenggara di Jakarta oleh pihak Badan Penghubung Daerah adalah potret buram birokrasi yang kehilangan nurani. Mahasiswa rantau yang datang dengan harapan untuk menyampaikan aspirasi justru diperlakukan layaknya ancaman. Mereka bukan kriminal, melainkan anak-anak daerah yang menuntut perhatian dari lembaga yang semestinya menjadi tempat bernaung mereka di tanah perantauan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, mereka menjadi korban dari arogansi pejabat publik yang lupa fungsi dasarnya: melayani.

Yang lebih menggelikan sekaligus menyedihkan, peristiwa yang terjadi di kantor perwakilan Sulawesi Tenggara di Jakarta justru dijelaskan lewat konferensi pers di ruang Pola Kantor Gubernur di Kendari, tempat yang seharusnya menjadi simbol kebijakan strategis daerah, bukan panggung pembelaan diri. Langkah ini menimbulkan kesan bahwa tindakan sepihak pejabat di Jakarta adalah representasi sikap resmi Pemerintah Provinsi.

Bacaan Lainnya

Padahal, sejatinya, keputusan tersebut sepenuhnya merupakan tanggung jawab pribadi pimpinan Badan Penghubung Daerah. Inilah wajah klasik dari birokrasi yang kehilangan integritas: lempar batu sembunyi tangan. Ketika salah langkah dilakukan di lapangan, justru panggung pemerintahan digunakan untuk menutupi aibnya. Simbol kekuasaan dipakai sebagai tameng moral bagi tindakan yang tidak memiliki dasar empati maupun akal sehat birokrasi.

Lebih jauh, akar dari kekacauan ini tampaknya bersumber dari lemahnya kapasitas dan pengalaman birokrasi pejabat yang memimpin lembaga tersebut. Ketika seseorang tanpa rekam jejak birokrasi ditempatkan pada posisi strategis, maka arah kebijakan publik mudah melenceng dari prinsip-prinsip tata kelola yang sehat. Ketidakmampuan membaca situasi sosial, memahami mekanisme administrasi, dan mengelola konflik dengan pendekatan empati menjadikan lembaga publik kehilangan arah dan kredibilitasnya.

Ketika jabatan publik dijadikan alat untuk menunjukkan kekuasaan pribadi, bukan sarana pengabdian, maka keputusan yang lahir pun tak lagi berpijak pada etika publik maupun akal sehat administrasi. Pejabat seperti ini gagal memahami bahwa kekuasaan publik bukanlah hak, melainkan amanah yang menuntut tanggung jawab moral dan kedewasaan dalam bertindak.

Dalam konteks ini, kepemimpinan tanpa kapasitas birokrasi ibarat kapal tanpa kompas, bergerak dengan keangkuhan, tapi tanpa arah yang jelas. Karena itu, pejabat semacam ini tidak patut dipertahankan dalam sistem birokrasi daerah yang seharusnya menjunjung tinggi profesionalisme dan integritas.

Mempertahankannya sama saja dengan membiarkan birokrasi terus membusuk dari dalam, mewariskan kultur ketakutan, arogansi, dan ketidakbecusan kepada generasi aparatur berikutnya. Birokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh jika diisi oleh orang-orang yang memahami bahwa kekuasaan sejatinya adalah tanggung jawab moral terhadap publik, bukan privilese untuk menindas yang lemah. Kasus ini menunjukkan bagaimana kekuasaan lokal sering digunakan bukan untuk melayani, tetapi untuk mempertahankan citra dan menutupi kelemahan.

Ruang Pola yang seharusnya menjadi tempat perumusan kebijakan justru berubah menjadi panggung pembenaran. Dari ruang itu, publik disuguhi ilusi seolah pemerintah provinsi solid dan terkendali, padahal yang terjadi sesungguhnya adalah kegagapan dan ketidakmampuan seorang pejabat menghadapi kritik. Inilah titik nadir moral birokrasi: ketika lembaga pemerintahan kehilangan rasa malu dan menggantinya dengan manuver simbolik untuk melindungi diri dari tanggung jawab.

Kini, publik menunggu sikap tegas Gubernur Sulawesi Tenggara. Kasus ini tidak hanya soal pelanggaran prosedur, tapi juga soal harga diri birokrasi daerah. Jika pejabat seperti ini tetap dibiarkan, maka pesan yang tersampaikan ke publik jelas: bahwa kekuasaan bisa dijalankan tanpa nurani, dan jabatan bisa digunakan untuk menindas, bukan melayani. Dan pada titik itulah, birokrasi kita benar-benar kehilangan jiwanya.

*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait