Pelantikan Massal: Antara Efisiensi dan Distorsi Merit System

Dalam beberapa minggu terakhir, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara kembali menjadi sorotan publik setelah melakukan pelantikan pejabat secara massal. Ratusan aparatur sipil negara dilantik bersamaan dalam satu seremoni megah, seolah menunjukkan semangat pembaruan birokrasi. Namun di balik gegap gempita seremoni tersebut, tersimpan pertanyaan mendasar: apakah pelantikan massal itu benar-benar didasarkan pada sistem merit dan manajemen talenta. Fenomena pelantikan besar-besaran ini menimbulkan kekhawatiran baru tentang arah reformasi aparatur sipil negara. Alih-alih memperkuat profesionalisme, langkah tersebut justru berisiko meneguhkan budaya patronase dan politik balas jasa di tubuh birokrasi. Jika hal ini dibiarkan, maka seluruh agenda reformasi ASN yang digagas melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 akan kehilangan makna dan birokrasi kita kembali terjebak dalam siklus lama:
transaksional, tertutup, dan tidak berbasis kinerja.

Secara hukum, pelantikan pejabat secara serentak tidak dilarang. UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara memberi ruang bagi pejabat pembina kepegawaian untuk melakukan mutasi, promosi, dan pelantikan pejabat secara kolektif — asalkan dilakukan berdasarkan sistem merit. Artinya, setiap penempatan jabatan harus berangkat dari kompetensi, kinerja, dan rekam jejak, bukan kedekatan personal atau tekanan politik. Masalahnya, pelantikan massal sering kali tidak diawali dengan proses uji kompetensi dan peta talenta sebagaimana diamanatkan undang-undang. Banyak pelantikan dilakukan dalam waktu singkat, bahkan tanpa mekanisme asesmen terbuka. Akibatnya, pelantikan yang semestinya menjadi bentuk profesionalisme justru berisiko menjadi gerbong patronase kekuasaan.

Bacaan Lainnya

Risiko Utama dari Pelantikan Massal
Jika pelantikan massal dilakukan tanpa basis merit system dan manajemen talenta, maka risikonya bukan hanya administratif, tetapi juga menyentuh aspek etika, organisasi, dan kepercayaan publik. Setidaknya ada lima risiko besar yang perlu dicermati:

1. Degradasi Profesionalisme ASN
Ketika jabatan diberikan bukan karena kompetensi melainkan karena kedekatan dan loyalitas personal, semangat meritokrasi yang menjadi fondasi reformasi ASN mulai runtuh. Aparatur sipil negara kehilangan motivasi untuk berprestasi karena kinerja tidak lagi menjadi ukuran utama dalam karier, sementara budaya “siapa dekat, dia naik” menggantikan prinsip “siapa berprestasi, dia layak.” Dalam jangka panjang, hal ini menumbuhkan birokrasi yang lamban, tidak adaptif, dan hanya berorientasi pada keamanan posisi. Pejabat cenderung menjaga status quo daripada berinovasi untuk memperbaiki kinerja lembaga, sehingga birokrasi kehilangan daya saing, kepercayaan publik, dan perannya sebagai motor penggerak pembangunan yang profesional dan berintegritas.

2. Kerusakan Sistem Pengawasan Internal
Inspektorat merupakan lembaga pengawasan internal yang berperan penting menjaga akuntabilitas pemerintahan daerah, namun dalam praktiknya sering menjadi tempat “titipan jabatan” bagi individu yang memiliki kedekatan politik dengan elite birokrasi. Ketika jabatan diisi bukan karena kapabilitas, melainkan hubungan personal, fungsi pengawasan berubah menjadi ruang kompromi kepentingan. Pengawas yang seharusnya independen justru menjadi bagian dari lingkar kekuasaan yang diawasi, sehingga potensi konflik kepentingan tak terhindarkan. Akibatnya, integritas birokrasi melemah, pengawasan hanya bersifat formalitas, dan penyimpangan kebijakan maupun transaksi jabatan terus berulang tanpa koreksi yang nyata.

3. Hilangnya Regenerasi Talenta
Pelantikan massal tanpa peta talenta ASN berisiko menyingkirkan pegawai potensial yang layak berkembang. Tanpa mempertimbangkan rekam jejak, kompetensi, dan potensi, regenerasi kepemimpinan menjadi stagnan, sementara ASN berprestasi kehilangan ruang karena sistem karier dikendalikan kepentingan dan relasi personal. Akibatnya, jabatan strategis berputar di kalangan yang sama tanpa pembaruan visi, membuat birokrasi kehilangan energi dan inovasi. Ketika regenerasi tersumbat, organisasi publik berjalan di tempat—prosedural, defensif, dan tidak adaptif—sehingga pelayanan publik menjadi kaku dan jauh dari semangat reformasi birokrasi berbasis merit dan manajemen talenta.

4. Kegagalan Reformasi ASN
Pelantikan massal tanpa uji kompetensi merupakan kemunduran dari semangat reformasi birokrasi yang menuntut profesionalitas ASN. Proses seleksi jabatan seharusnya menjadi ajang pembuktian kemampuan, bukan sekadar rotasi administratif. Ketika uji kompetensi diabaikan, prinsip meritokrasi kehilangan makna, dan reformasi ASN terjebak dalam formalitas tanpa kualitas. Meski regulasi menegaskan karier berbasis kinerja dan kompetensi, praktik promosi masih didominasi kepentingan politis dan pragmatis. Selama jabatan dipandang sebagai alat kekuasaan, bukan tanggung jawab profesional, modernisasi birokrasi akan terus berhenti pada seremoni tanpa substansi.

5. Erosi Kepercayaan Publik
Kepercayaan publik terhadap birokrasi tidak lahir dari janji reformasi, tetapi dari tindakan nyata yang menunjukkan keadilan dan profesionalitas. Ketika pelantikan pejabat dilakukan tanpa transparansi dan terkesan sarat “titipan jabatan”, publik menilai birokrasi masih dikuasai kepentingan sempit. Persepsi ini merusak legitimasi moral pemerintahan dan sulit dipulihkan. Dalam jangka panjang, defisit kepercayaan publik menghambat pelaksanaan kebijakan, menurunkan partisipasi, dan melemahkan efektivitas pembangunan. Karena itu, membangun kepercayaan harus dimulai dari tata kelola birokrasi yang transparan, adil, dan berbasis kompetensi.

Menolak Birokrasi Transaksional
Birokrasi transaksional merupakan penyakit lama yang terus menghantui sistem pemerintahan di Indonesia. Fenomena ini muncul ketika jabatan publik dipandang bukan lagi sebagai amanah, tetapi sebagai komoditas kekuasaan. Dalam logika transaksional, kedekatan dengan pengambil keputusan dan kemampuan membangun jaringan lebih dihargai daripada kompetensi dan kinerja. Akibatnya, promosi jabatan sering kali mencerminkan pertukaran kepentingan, bukan prestasi. Sistem seperti ini tidak hanya merusak moralitas ASN, tetapi juga menumbuhkan budaya birokrasi yang tertutup, penuh perhitungan politis, dan menjauh dari semangat pelayanan publik yang profesional. Padahal, reformasi ASN yang digulirkan sejak 2014 dan diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 bertujuan mengakhiri praktik tersebut melalui penerapan sistem merit dan manajemen talenta nasional yang menekankan objektivitas, transparansi, serta kinerja sebagai dasar karier ASN.

Langkah pertama untuk menghapus birokrasi transaksional terletak pada kejujuran politik dan integritas moral kepala daerah serta Sekretaris Daerah. Tanpa komitmen dari pucuk pimpinan, seluruh regulasi dan sistem manajemen talenta ASN hanya akan menjadi formalitas administratif. Pelantikan pejabat seharusnya tidak menjadi panggung kekuasaan, melainkan sarana menempatkan orang paling layak dan berintegritas di posisi yang tepat. Dalam hal ini, BKD, Sekda, dan Inspektorat memiliki peran strategis sebagai penjaga sistem merit dan integritas karier ASN. Jika ketiganya bekerja profesional dan menjunjung transparansi, maka pelantikan pejabat akan kembali pada esensinya: memilih yang berprestasi, bukan yang berkuasa. Reformasi birokrasi hanya akan hidup apabila kejujuran dan profesionalitas benar-benar menjadi dasar setiap keputusan pemerintahan daerah.

Penutup: Reformasi Dimulai dari Integritas
Pelantikan 270 pejabat mungkin sah secara administratif, tetapi belum tentu sah secara moral. Keabsahan formal tidak selalu mencerminkan kebenaran substantif apabila prosesnya menyisakan aroma titipan, kedekatan, dan transaksi jabatan. Dalam konteks reformasi birokrasi, legalitas hanyalah lapisan luar; yang jauh lebih penting adalah legitimasi etis dan profesional. Tanpa moralitas dan kejujuran dalam pengisian jabatan, seluruh agenda pembaruan ASN hanya akan menjadi seremonial administratif tanpa makna. Sebersih apa pun regulasinya, sistem akan tetap lumpuh bila dijalankan oleh aktor yang kompromistis terhadap kepentingan pribadi atau kelompok.
Menghapus birokrasi transaksional berarti mengembalikan jabatan ASN pada esensinya: pengabdian, profesionalisme, dan keadilan karier. Jabatan publik bukan hadiah politik, melainkan amanah yang menuntut tanggung jawab dan integritas. Reformasi birokrasi hanya dapat berhasil jika kepala daerah, Sekda, dan pejabat pembina kepegawaian memiliki keberanian moral untuk menegakkan prinsip meritokrasi dan menolak praktik “titipan jabatan.” Keberhasilan reformasi tidak diukur dari banyaknya pejabat yang dilantik, tetapi dari seberapa banyak pejabat yang benar-benar layak menduduki jabatannya. Ketika keadilan dan kompetensi menjadi fondasi utama, birokrasi akan kembali menemukan martabatnya sebagai pelayan publik yang bersih, profesional, dan dipercaya masyarakat.

*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait