Larangan Tanpa Aturan
Oleh: Baso Affandi, SH
Dari sudut tempat ngopi seputaran lapangan Tikala Kota Manado, saya membaca pernyataan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Zudan Arif Fakhrullah, tentang larangan pengangkatan staf khusus dan tenaga ahli oleh kepala daerah pasca 20 Februari 2025, hal ini membuat saya makin penasaran karena menimbulkan pertanyaan fundamental dari perspektif hukum tata negara dan administrasi publik. Meski memiliki tujuan efisiensi dan penataan kepegawaian daerah, pernyataan tersebut belum sepenuhnya didukung regulasi positif yang eksplisit dan mengikat.
Kekosongan Hukum dan Potensi Rechtsvacuum
Larangan pengangkatan staf khusus baru tidak memiliki dasar hukum yang spesifik. Hingga saat ini, Permendagri Nomor 134 Tahun 2018 masih berlaku dan memberikan dasar hukum bagi kepala daerah untuk mengangkat staf khusus. Pasal 2 menyebutkan secara eksplisit bahwa pengangkatan staf khusus diperbolehkan, dan Pasal 5 mengaturnya dengan prinsip kehati-hatian fiskal.
Tidak adanya regulasi baru yang mencabut atau mengubah Permendagri ini menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum), yang secara akademis dan normatif menimbulkan ambiguitas dan potensi ketidaktertiban hukum dalam pelaksanaannya.
Polemik Asas-Asas Hukum Tata Negara
Dari perspektif hierarki peraturan perundang-undangan, prinsip lex superior derogat legi inferiori menyatakan bahwa aturan yang lebih rendah tidak dapat bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Namun yang terjadi saat ini adalah larangan bersifat lisan atau instruksional yang tidak dituangkan dalam regulasi resmi setingkat atau lebih tinggi dari Permendagri 134/2018.
Dalam hukum administrasi negara, pembatasan terhadap kewenangan pejabat publik, apalagi kepala daerah yang memiliki mandat konstitusional, wajib dituangkan dalam bentuk peraturan hukum yang formal, bukan sekadar pernyataan atau kebijakan bersifat sementara.
Regulasi Eksisting yang Kerap Disalahpahami
Beberapa peraturan yang sering dikutip sebagai dasar larangan, seperti:
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, dan
PP No. 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK,
memang membatasi pengangkatan tenaga non-ASN, namun tidak secara eksplisit mencakup atau melarang keberadaan “staf khusus” yang secara yuridis bersifat non-struktural dan bukan bagian dari ASN.
Staf khusus pada dasarnya adalah bagian dari jabatan fungsional non-ASN yang diberikan ruang oleh UU melalui Permendagri 134/2018, sehingga pelarangan terhadap keberadaannya tanpa revisi formal terhadap dasar hukum tersebut rawan menimbulkan konflik interpretasi dan pelanggaran terhadap asas legal certainty.
Rekomendasi Yuridis dan Tata Kelola
Untuk menghindari kebingungan hukum dan menjamin legal enforceability, pemerintah pusat perlu:
1. Menerbitkan regulasi resmi (misalnya Permendagri baru, Perpres, atau SE yang bersifat mengikat) yang memuat larangan eksplisit terhadap pengangkatan staf khusus, termasuk peralihan kebijakan;
2. Mencabut atau merevisi Permendagri No. 134 Tahun 2018, agar tidak terjadi kontradiksi normatif;
3. Menyiapkan mekanisme transisi kebijakan agar kepala daerah tidak merasa diperlakukan tidak adil dan memiliki waktu untuk penyesuaian tata kelola internal.
Kepastian Hukum adalah Keharusan, Bukan Pilihan
Kepastian hukum adalah conditio sine qua non bagi pelaksanaan kebijakan publik. Larangan pengangkatan staf khusus yang tidak memiliki dasar hukum eksplisit berisiko menimbulkan ketidakpastian, sengketa hukum, hingga gugatan di PTUN. Lebih jauh lagi, ini dapat mengganggu stabilitas pemerintahan daerah serta melemahkan akuntabilitas publik.
Sudah saatnya pemerintah bergerak cepat untuk tidak hanya menyampaikan niat kebijakan, tetapi mengartikulasikannya ke dalam peraturan hukum yang sah, adil, dan berpijak pada prinsip-prinsip good governance.
Sebelum ada aturan yang jelas melarang pengangkatan Staf Khusus maupun Staf Ahli, maka bagi saya yang hanya terbiasa ngopi ini, membenarkan apa yang dilakukan kepala Daerah yang telah mengangkat Staf Khusus dan Staf Ahli di wilayahnya.
Maaf, saya lanjut ngopi dulu.