_”Mahkamah Konstitusi Diharapkan secepatnya memutus Judicial review berkaitan pengawasan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pengawasan Pilkada Serentak Tahun 2020 atau DPR segera melakukan revisi terbatas terkait UU Pilkada.”_
Sejumlah pemerhati Pemilu dan Demokrasi di Sulawesi Tenggara menggelar diskusi dan kajian perundang-undangan bersama awak media menyangkut legal standing Bawaslu Kabupaten/Kota dalam mengawasi Pilkada 2020. Para pemerhati Pemilu tersebut adalah aktivis pemantau Pemilu dari JaDI Sultra dan Sultra Demo mengkaji dari aspek perundang-undangan berkiatan legalitas dan kewenangan Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam pengawasan Pilkada 2020.
Ketua presidium JaDi Sultra selaku pemateri utama menguraikan dari aspek ketatanegaraan, kajian perundang-undangan dan administrasi pemerintahan tidak menemukan legal standing dan kewenangan yang ada pada Bawaslu Kabupaten/Kota untuk dapat melakukan pengawasan Pilkada 2020. Pada UU Pilkada baik UU No.1/2015 perubahan UU No. 8/2015 dan perubahan terakhir UU No. 10/2016 sama sekali tidak menyebutkan adanya kewenangan dan legitimasi Bawaslu Kabupaten/Kota untuk mengawasi Pilkada 2020. Yang termuat dalam UU Pilkada tersebut hanya ejaan pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) terkait Panwaslu Kabupaten/Kota yang bersifat adhock dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi satu bulan sebelum tahapan persiapan dan dibubarkan paling lambat dua bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan selesai. Tidak ditemukan sama sekali ejaan pasal menyangkut Bawaslu Kabupaten/Kota yang bersifat tetap. Kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota yang bersifat tetap hanya ditemukan dalam pengaturan UU No. 7/2017 tentang Pemilu pasal 101 s.d 104 yang tugas, wewenang dan kewajiban untuk mengawasi penyelenggaraan tahapan Pemilhan Umum di wilayah Kabupaten/Kota. Terhadap ini tentu berbeda antara Pemilu dan Pilkada dimana sesuai hierarkhi perundang-undangan dalam hukum positif kita bahwa Pemilu diatur dalam UU No. 7/2017 karena amanah dari amandemen ketiga UUD 45 Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) serta untuk Pilpres amanat amandemen keempat UUD 45 Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2). Sedangkan Pilkada amanat dari amandemen kedua UUD 45 Pasal 18 ayat 4 yang diturunkan dalam pelaksanaanya yaitu pemilihan kada secara langsung dikejewantahkan dalam UU No.1/2015 perubahan UU No. 8/2015 dan perubahan terakhir UU No. 10/2016 .
Persoalan menjadi semakin runyam dengan terbitnya Permendagri 54/2019 tentang pendanaan kegiatan Pilkada memaknai bahwa “Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Bawaslu Kabupaten/Kota adalah badan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum di wilayah kabupaten/kota”. Pasal ini berkaitan dengan dengan penandatangan NPHD Pilkada Pasal 13 ayat (2) huruf b, “Belanja Hibah Kegiatan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati/Wali Kota dan Wakil Wali Kota kepada Bawaslu Kabupaten/Kota dituangkan dalam NPHD dan ditandatangani oleh Bupati/Wali Kota dengan Ketua Bawaslu kabupaten/kota.”
Sementara lahirnya Permendagri 54/2019 tersebut karena kewenangan atribusi yang diperintahkan sesuai ketentuan Pasal 166 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan WaliKota menjadi Undang-Undang, bahwa “perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur Bupati, dan WaliKota yang Bersumber dari APBD”.
Kalau ini kewenangan atribusi yang diberikan kepada Mendagri untuk membuat permendagri ini justru menyimpang dari UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah yang diatur dalam norma peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Lalu kenapa Permendagri 54/2019 menyimpang ke Undang-undang lain tentang Pemilu yang tidak mengatur tentang Pilkada ?
Yang lebih menambah keruwetan lagi ketika Bawaslu bersikukuh bahwa Bawaslu Kabupaten/Kota dapat melakukan pengawasan Pilkada karena atas dasar Permendagri 54/2019 dan aturan peralihan PKPU No. 15 Tahun 2019 sambul menunggu Revisi UU Pilkada dan Putusan MK. Sejak kapan dan asas hukum apa lembaga Bawaslu bekerja mengawasi Pilkada karena pendelegasian wewenang oleh lembaga lain di luar Bawaslu dalam hal ini KPU dan Mendagri. Bawaslu adalah lembaga mandiri yang diberi tugas atribusi oleh Undang-undang untuk mengawasi Pemilu dan Pilkada. Kekuasaan dan kewenangan dalam tugas dan wewenangnya tidak diberikan oleh lembaga lain diluar Bawaslu tetapi atas perintah konstitusi. Harusnya Bawaslu lebih bersabar menunggu putusan MK atau Revisi UU Pilkada.
Informasi terakhir bahwa Bawaslu RI hasil kajiannya bahwa apabila dalam masa tunggu revisi UU Pilkada maupun putusan MK tak kunjung ada maka Bawaslu RI akan memberikan mandat kepada Bawaslu Kabupaten/kota untuk melakukan pengawasan tahapan Pilkada yang sedang berjalan dengan dasar Pasal 22D UU 10/2016 bahwa Bawaslu penaggungjawab akhir dari seluruh pengawasan. Terkait Mandat ini akan menimbulkan masalah dan akibat hukum dikemudian hari karena Pengertian mandat menurut Pasal 1 angka UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. Pengaturan mengenai mandat kalau dilihat pada Pasal 14 huruf g bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran. Sementara dalam pengawasan Pilkada oleh Bawaslu Provinsi maupun Kabupaten/Kota harus memiliki kemampuan atau kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu yang bersifat pokok dan mengikat bukan tugas harian.
Implikasi lain terkait mandat berarti menyangkut pelimpahan wewenang kepada pejabat bawahannya (Bawaslu RI kepada Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota), hal ini juga terdapat pengaturan yang ditetapkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yaitu terkait penandatanganan surat-surat dinas dan keputusan-keputusan lembaga dimana garis kewenangan digunakan jika surat dinas ditandatangani oleh pejabat yang mendapat pelimpahan dari pejabat yang berwenang, maka penandatanganan surat dinas yang menggunakan garis kewenangan dapat dilaksanakan dengan menggunakan cara Atas nama (a.n.). Berarti termaksud penandatangan NPHD yang lalu oleh Ketua Bawaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota harus atas nama Ketua Bawaslu RI dengan Gubernur/Bupati/Walikota yang daerahnya diselenggarakan Pilkada 2020.
Kesimpulan akhir dari kajian diskusi tersebut meminta kepada Bawaslu RI agar mempertimbangan pemberian dalam bentuk Mandat kepada Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam pengawasan Pilkada 2020. Bawaslu harus mempertimbangkan legal standing pengawasannya yang akan dipersoalkan banyak pihak. Bawaslu adalah bagian dari subyek hukum dimana kebijakannya disemua tingkatan akan menimbulkan akibat hukum di dalam hubungan hukum publik Pilkada yang terdapat unsur KPU, Peserta Pilkada, Pemilih, Pemda, aparat keamanan dan termaksud teknis penanganan sengketa pilkada.
Yang paling mendesak saat ini adalah Bawaslu RI harus memastikan bahwa Revisi UU Pilkada sangat dibutuhkan dan konsentrasi terhdap proses di MK terkait upaya Judicial Review UU Pilkada serta upaya menekan kepada Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/kota yang Pilkada untuk tidak menggunakan anggaran Pilkadanya sebelum ada kejelasan posisi legal standing pengawasan Pilkada tahun 2020.
Demikian,Sebagai bahan pertimbangan.