Jakarta, Sultrademo.co – Pemerintah tengah mengevaluasi proyek strategis nasional (PSN), salah satunya Ecowisata Tropical Coastland di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, yang dikelola oleh Agung Sedayu Group.
Evaluasi ini dilakukan oleh Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) dan telah memasuki tahap penyampaian hasil kepada kementerian teknis terkait.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menegaskan bahwa evaluasi ini mencakup seluruh PSN yang masih berlangsung maupun yang akan selesai setelah 2025.
Untuk proyek Ecowisata Tropical Coastland, evaluasi teknis akan dilakukan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai pihak yang sebelumnya memberikan rekomendasi teknis.
Namun, polemik mengenai proyek ini semakin mencuat seiring dengan ramainya perbincangan terkait pemagaran laut di pesisir utara Tangerang.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menilai bahwa pemerintah harus mengambil langkah lebih tegas dengan mencabut status PSN Ecowisata Tropical Coastland serta meninjau ulang seluruh Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang dimiliki oleh PIK 2 dan Agung Sedayu Group.
Menurut Dewi, mekanisme penetapan PSN yang memberikan keleluasaan kepada pengembang bisa berdampak luas terhadap kawasan sekitar.
“Meski tidak semua area PIK 2 masuk PSN, regulasi yang diterabas dalam proyek ini berdampak pada keseluruhan kawasan,” ujarnya, Kamis (23/1/2025).
Dalam laporan investigasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pagar laut di pesisir utara Tangerang terbentang sepanjang 30,16 kilometer dan meliputi beberapa desa di Kecamatan Kronjo, Kemiri, Mauk, Sukadiri, Pakuhaji, dan Teluknaga.
Sementara itu, kawasan PSN Ecowisata Tropical Coastland tersebar di beberapa desa dengan total luas mencapai lebih dari 1.600 hektare.
Kuasa hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid, mengonfirmasi bahwa perusahaan telah membeli tanah di pesisir utara Tangerang dari masyarakat. Tanah tersebut awalnya bersertifikat hak milik (SHM) sebelum dialihkan menjadi SHGB.
Ia juga menegaskan bahwa tanah yang dibeli berada di daratan, bukan di area pagar laut yang kini menjadi polemik.
“Kami memiliki dokumen lengkap, termasuk pajak dan rencana kerja pengelolaan lingkungan,” ujar Muannas.
Di sisi lain, Dewi Kartika mempertanyakan keputusan ATR/BPN yang menerbitkan SHGB di wilayah yang telah mengalami abrasi.
Ia menegaskan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, lahan yang hilang akibat abrasi seharusnya tidak lagi dapat diklaim sebagai milik perusahaan.
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, mengkhawatirkan bahwa proyek ini tetap akan berjalan meskipun muncul kontroversi.
“Jika tidak ada perhatian publik terhadap masalah pagar laut ini, pembangunan PSN Ecowisata Tropical Coastland bisa terus berlanjut dengan cara mereklamasi perairan utara Tangerang,” ujarnya.
Ia juga menyoroti fakta bahwa SHGB di area pagar laut baru diterbitkan pada 2023, tidak lama sebelum Ecowisata Tropical Coastland ditetapkan sebagai PSN pada Maret 2024.
“Artinya, ada indikasi bahwa mekanisme perizinan sudah disiapkan agar proyek ini dapat berjalan tanpa hambatan,” imbuh Susan.
DPR RI dan Ombudsman RI diharapkan turut mengawasi proses evaluasi ini. Menurut Dewi Kartika, evaluasi PSN tidak hanya soal rekomendasi teknis, tetapi juga harus mengusut dugaan manipulasi, kolusi, dan potensi korupsi dalam penerbitan SHGB dan penetapan lahan proyek.
Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat bahwa sejak 2020 hingga 2024, terdapat 154 konflik agraria di kawasan PSN, termasuk Ecowisata Tropical Coastland.
Dewi mendesak agar proyek-proyek yang memicu konflik agraria dan penggusuran masyarakat segera dihentikan dan status PSN-nya dicabut.
Sementara itu, Muannas Alaidid menegaskan bahwa pihaknya akan mematuhi aturan pemerintah terkait evaluasi ini.
“Evaluasi bukan berarti pembatalan proyek, tapi bisa jadi ada aspek yang perlu disempurnakan, seperti sosialisasi kepada masyarakat agar tidak salah paham bahwa PIK 2 dan PSN adalah dua kawasan yang berbeda,” jelasnya.
Evaluasi PSN ini menjadi ujian bagi pemerintah dalam memastikan proyek-proyek strategis nasional benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat, bukan hanya bagi kelompok bisnis tertentu. Keputusan yang diambil nantinya akan menentukan arah kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan tata ruang di Indonesia.