Kendari, Sultrademo.co – Kasus Tuberkulosis (TBC) di Sulawesi Tenggara (Sutra) masih jadi perhatian serius. Data terbaru dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan, hingga Mei 2025, Kota Kendari mencatat jumlah kasus tertinggi, sementara Konawe Kepulauan jadi yang terendah.
Sepanjang Januari-April 2025, total penemuan kasus TBC Sensitif Obat (SO) di Sultra mencapai 1.630 kasus. Dari jumlah tersebut, Kota Kendari menyumbang 448 kasus tertinggi. Di sisi lain, Konawe Kepulauan hanya mencatat 19 kasus.
Sementara itu, TBC Resisten Obat (RO) juga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Sepanjang Januari-Mei 2025, ditemukan 40 kasus TBC RO di seluruh Sultra.
Lagi-lagi, Kendari jadi penyumbang terbanyak dengan 19 kasus. Adapun lima kabupaten yakni Buton Utara, Buton Tengah, Buton Selatan, Bombana, dan Konawe Utara, tidak melaporkan adanya kasus TBC RO.
Dari total 40 kasus TBC RO, sebanyak 19 pasien saat ini sedang menjalani pengobatan. Namun, lima pasien lainnya dinyatakan meninggal dunia.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Sultra, dr. Muhammad Ridwan, menyampaikan pentingnya penanganan komprehensif dalam menekan penyebaran TBC.
“Hal pertama yang harus dilakukan adalah menemukan sebanyak mungkin kasus dan kontak erat, kemudian dilakukan pemeriksaan. Sekarang metode yang digunakan adalah test charge monokuler. Setelah dinyatakan positif, langsung diobati sampai sembuh,” jelas Ridwan saat ditemui, Senin (19/5/2025).
Ia juga menekankan pentingnya investigasi kontak sebagai bagian dari upaya pencegahan penyebaran.
“Kedua, melakukan investigasi kontak serumah atau di sekitar penderita. Ini bertujuan untuk mencegah penyebaran yang lebih luas,” tambahnya.
Namun, Ridwan tidak menampik bahwa pelaksanaan investigasi kontak ini tak mudah. Metodenya dilakukan dengan cara door to door, menyasar orang-orang yang tinggal serumah atau sering kontak langsung dengan penderita TBC. Mereka kemudian akan ditawarkan pengobatan pencegahan melalui terapi profilaksis.
“Ini menuai banyak kendala karena yang disarankan untuk diobati belum pasti dia TB, tapi dia sudah ada kontak dengan TB. Ini yang menjadi masalah teman-teman programer yang ada di Puskesmas untuk menggiatkan potensi terjadinya perluasan TB,” jelasnya.
Dilansir dari alodokter.com tuberkulosis (TBC) atau TB adalah penyakit menular akibat infeksi bakteri. TBC umumnya menyerang paru-paru, tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lain, seperti ginjal, tulang belakang, dan otak.
Menurut WHO, sebanyak 1,5 juta orang meninggal akibat penyakit TBC di tahun 2020. Penyakit ini merupakan penyakit dengan urutan ke–13 yang paling banyak menyebabkan kematian, dan menjadi penyakit menular nomor dua yang paling mematikan setelah COVID-19.
Pada tahun 2023, diperkirakan 10,8 juta orang terjangkit TBC secara global, dengan 1,25 juta penderita di antaranya meninggal dunia. Indonesia termasuk negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia, setelah India, dengan lebih dari 1 juta kasus setiap tahun.
Meski pengobatan untuk TBC telah tersedia, banyak tantangan yang membuat penyakit ini sulit diberantas. Salah satunya adalah meningkatnya kasus TBC resistan obat (TB-RO), yang tidak merespons pengobatan standar.
Penyakit ini dapat berakibat fatal bagi penderitanya jika tidak segera ditangani. Meski begitu, TBC adalah penyakit yang dapat disembuhkan dan bisa dicegah.
Laporan: Arini Triana Suci R







