Kendari, Sultrademo.co – Masa depan dan keberlangsungan ekosistem Sungai Konaweha kian mengkhawatirkan. Kehadiran perusahaan smelter nikel PT Virtue Dragon Nikel Industri (VDNI) yang berlokasi di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe dan maraknya penambangan pasir ilegal memicu terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan yang berdampak pada sumber penghidupan masyarakat.
Bukan tanpa alasan, berdasarkan hasil penelitian Universitas Negeri Makassar (UNM) tentang Analisis Indeks Pencemaran (IP) Sungai Konaweha Akibat Pengaruh Aktivitas Tambang Nikel di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara tahun 2019 menunjukan, kualitas air Sungai Konaweha berada di level tercemar sedang, baik yang berada disekitar kawasan pemukiman maupun kawasan PT VDNI.
Beberapa parameter fisik- kimia air sungai berada di atas ambang batas sehingga kualitas air sungai sangat tidak direkomendasikan untuk digunakan sebagai sumber air minum, hal tersebut dikarenakan pada kawasan tambang nikel aktivitas konsumsi air yang cukup besar, memungkinkan terakumulasi dengan logam berat pada hewan.
Disamping itu aktivitas pabrik nikel juga dapat berpotensi mencemari zona akuifer produktif dengan potensi air tanah melimpah yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara, Andi Rahman mengungkapkan, berdasarkan hasil analisis WALHI di lapangan, ditemukan banyak persoalan serius, terutama terkait dengan pencemaran ekosistem sungai.
Hasil uji laboratorium WALHI pada tahun 2023 menunjukkan adanya kandungan logam berat seperti tembaga (Cu) dan kadmium (Cd) di Sungai Konaweha, Sungai Motui, serta tambak masyarakat yang mengandalkan air dari kedua sungai tersebut.
“Keberadaan logam berat ini menyebabkan terganggunya ekosistem perairan, mengurangi populasi ikan, kerang, dan organisme lainnya,” ujar Andi.
Menurutnya, aktivitas pengelolaan nikel oleh PT VDNI dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) , ditambah emisi dari PLTU, telah menyebabkan ekosistem sungai mengalami pencemaran berat. Pencemaran ini tidak hanya mengancam keberlangsungan habitat sungai, tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan manusia yang menggantungkan sumber air dan hasil sungai tersebut.
“Produksi ikan dan kerang yang sebelumnya melimpah kini menurun drastis, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Masyarakat yang dulu mampu menjaring kerang dalam jumlah besar, kini menghadapi penurunan produktivitas yang signifikan,” jelasnya.
Ironisnya, di tengah kondisi sungai yang tercemar, air sungai tersebut masih dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Anoa Kota Kendari untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat sebagai air konsumsi.
“Praktik ini tentu menimbulkan resiko besar terhadap kesehatan masyarakat yang bergantung pada air tersebut untuk kebutuhan sehari-hari,” ungkap Andi.
Sementara itu, Humas PT VDNI, Bahar menolak berkomentar saat dikonfirmasi mengenai hasil riset dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan PT VDNI. Ketika dimintai tanggapan, Bahar hanya menjawab singkat, “Tidak bisa. Apa yang mau dibicarakan,” ujarnya.
Selain itu, penambangan pasir ilegal di pesisir Sungai semakin memperburuk kondisi Sungai. Humas Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi IV Kendari Rahmad Sanusi mengungkapkan jika keberadaan tambang pasir yang beroperasi di pesisir Sungai Konaweha telah menyebabkan kerusakan lingkungan salah satunya terjadinya abrasi.
“Makanya kami sudah tidak mengeluarkan lagi Rekomtek (rekomendasi teknis) terkait pengelolaan tambang pasir,” ungkap Rahmad saat ditemui.
Kendatipun demikian, Rahmad enggan merinci berapa jumlah penambang pasir yang saat ini sedang beroperasi di Sungai Konaweha. “Rata-rata penambang pasir rekomteknya sudah kadaluarsa semua,” bebernya.
Seluruh aktivitas penambangan pasir di wilayah Sungai Konaweha, kata Rahmad hingga saat ini masih tergolong ilegal karena para pelaku belum mengantongi izin resmi.
Banyak pihak keliru memahami bahwa rekomendasi teknis (rekomtek) dari Balai Wilayah Sungai (BWS) merupakan izin, padahal rekomtek hanya berfungsi sebagai pertimbangan teknis. Melalui rekomtek, BWS menyatakan bahwa secara teknis, lokasi sungai tersebut layak untuk pengambilan pasir.
Tetapi pada prinsipnya, kata Rahmad setiap kegiatan pertambangan wajib memiliki izin dan didukung dengan dokumen analisis dampak lingkungan. Ketentuan ini berlaku untuk seluruh golongan pertambangan.
“Dokumen ini menjadi prasyarat sebelum kegiatan pertambangan memasuki tahapan penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal),” kata Rahmad.
Ia menguraikan, proses penerbitan Rekomtek membutuhkan waktu maksimal 14 hari setelah seluruh kelengkapan administrasi terpenuhi. Di dalamnya termasuk kajian-kajian teknis sebagai dasar pertimbangan kelayakan.
Adapun untuk penegakan hukum terhadap pelanggaran sumber daya air, saat ini kewenangan berada pada BWS. Kata Rahmad, timnya di lapangan terus melakukan pemantauan dan sudah banyak memberikan teguran kepada para pelaku penambangan ilegal.
“Bahkan, beberapa kasus telah masuk tahap pemeriksaan berita acara pemeriksaan (BAP), namun belum ada yang sampai pada tahap P21 (berkas perkara lengkap untuk disidangkan),” jelasnya.
Pokea, Sumber Penghidupan Masyarakat
Alhasil dampak tersebut berimbas pada sumber pencaharian Masyarakat, Rahim (50) warga Desa Tabanggele, Kecamatan Anggalomoare, Kabupaten Konawe seorang nelayan pencari kerang pokea atau kijing mengeluhkan semenjak adanya penambangan pasir berimbas pada jumlah hasil tangkapan.
“Sejak ada pengolahan pasir, pokea jadi susah sekali dicari,” keluhnya. “Mereka sedot pasir, pokea ikut terbawa.”
Rahim telah menjadi nelayan pokea selama lebih dari satu dekade. Setiap pagi, sekitar pukul 9 WITA, ia turun ke sungai lengkap dengan peralatan selam sederhana. Ia akan berada di dalam air hingga tengah hari, bergantung pada tinggi rendahnya pasang.
Mencari pokea sudah menjadi nafkah utama yang ia andalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menyekolahkan ke empat anaknya hingga anak pertamanya telah menjadi sarjana.
Sedimentasi dan keruhnya air akibat penambangan membuat habitat pokea rusak. Rahim dan nelayan lain terpaksa mencari lokasi-lokasi baru, yang belum tersentuh aktivitas penambangan.
“Kita cari tempat yang belum di sedot pasirnya,” kata Rahim sambil menunjukan spot-spot lokasi tempat dia menyelam.
Tak hanya kerusakan lingkungan, mereka juga dihadapkan pada keterbatasan alat dan perhatian. Perahu yang ia gunakan sudah tua. Bantuan dari pemerintah? Nyaris tak ada.
Senada dengan Rahim, Nasrudin Lapuo pun warga Desa Rumbia, Kecamatan Bondoala, Kabupaten Konawe mengeluhkan nasib pokea yang kian mengalami kekurangan. “Dulu, cari pokea itu tinggal menyelam sedikit. Hasilnya berkarung-karung,” kenangnya. “Sekarang? Paling tinggi cuma lima belas liter.”
Perubahan tersebut bukan hanya terasa pada jumlah, tapi juga pada harga. Dulu, kata pria 59 tahun itu, pokea bahkan nyaris tak berharga. Ukuran kecil tak laku, sementara yang besar hanya dihargai lima belas ribu per liter. Kini, seiring kelangkaan, nilainya melonjak. Pokea besar dijual tiga puluh ribu per liter, yang kecil dua puluh ribu.
Menurut Nasrudin, penurunan drastis populasi pokea bukan tanpa sebab. Ia menunjuk satu faktor yang menurutnya paling besar yaitu penambangan pasir.
“Ketika ada penambang pasir, maka tidak ada di situ pokea. Habis,” katanya tegas. “Mereka sedot pasir, sama saja menyedot habis tempat hidup pokea.”
Ditempat yang sama, Kudirman yang juga selaku nelayan pokea mengungkapkan keunikan mencari pokea itu tidak bergantung pada musim. Setiap saat bisa turun ke sungai untuk mencari pokea. “Tergantung rejeki,” katanya.
Ia juga mengeluhkan jika populasi kerang pokea saat ini sudah mulai berkurang. Kudirman menduga hal tersebut disebabkan karena adanya pertambangan pasir yang beroperasi secara berlebihan.
“Karena mungkin bekas limbah olinya yang dibuang ke air. Karena mesin bukan hanya satu yang beroperasi tetapi puluhan mesin,” ungkapnya.
Tetapi ia tak mengetahui apakah kekurangan hasil tangkapan kerang pokea ini juga disebabkan oleh pencemaran lingkungan akibat aktivitas PT VDNI yang telah beroperasi lebih dari 10 tahun di Wilayah kecamatan Bondoala.
Sementara itu, Bintang Arafah (21) seorang penambang pasir yang beroperasi di Desa Pusangi, Kecamatan Anggalomoare, Kabupaten Konawe mengungkapkan dalam sehari bisa menerima muatan lebih dari 10 rit untuk setiap mesin penyedot pasir.
“Penambang pasir di sini sudah beroperasi lebih dari 10 tahun,” ungkapnya saat di wawancarai. Umumnya pasir-pasir tersebut dipesan dari Kota Kendari.
Adapun izin pengelolaan tambang pasir yang ada di Sungai Pohara, ia mengklaim dikeluarkan oleh pihak Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi IV Kendari.
Dalam prosesnya, ia membantah jika keberadaan pertambangan pasir yang ada di Sungai Pohara mempengaruhi populasi kerang pokea. Ia berdalih jika memang mempengaruhi populasi pokea para nelayan sudah tidak ada.
“Kalau untuk mempengaruhi populasi pokea mungkin tidak. Karena kalau sudah pengaruhi mungkin sudah tidak ada orang mencari pokea disini,” kata Arafah.
Ia juga mengklaim jika pertambangan pasir yang ada tidak memberikan dampak terhadap lingkungan khususnya sungai pohara. “Iya normal (dampak lingkungan). Tidak ada pengaruh abrasi”.
Kepala Desa Pusangi, Gama Ali, mengungkapkan pasir dipesan hanya untuk kebutuhan pembangunan di Kendari dan tidak ada pesanan dari luar Sulawesi Tenggara.
“Tidak ada yang dikirim sampai di Ibu Kota Nusantara (IKN). Mau lewat mana kita mau kirim,” ujarnya.
Dan saat ini, lebih dari 20 orang aktif menambang pasir di desa tersebut.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Konawe A. Apono mengungkapkan, kehadiran PT VDNI memberikan dampak penurunan yang sangat signifikan terhadap hasil tangkap di sektor perikanan.
Tahun 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hasil produksi perikanan budidaya kabupaten Konawe mencapai 40.356 ton. Angkat itu terus menurun tahun-tahun berikutnya seiring masifnya aktivitas perusahaan di kawasan Morosi.
Selain itu ia juga mengakui jika populasi kerang pokea yang habitatnya berada sungai Konaweha saat ini dalam situasi mengkhawatirkan.
Pokea merupakan hewan sejenis kerang-kerangan, yang hidup di dasar sungai dan mendapatkan makanannya dengan menyaring partikel-partikel dari air. Hal ini membuatnya sangat rentan terhadap pencemaran.
“Populasi pokea terus menurun dan berdasarkan kesimpulan awal dari pengamatan lapangan, spesies ini diprediksi bisa punah dalam 20 tahun ke depan jika tidak segera dilakukan upaya penyelamatan,” ujar A. Apono saat ditemui di ruangan kerjanya.
Menurutnya, salah satu penyebab utama terancamnya populasi pokea diakibatkan aktivitas pernambangan pasir ilegal di beroperasi di pesisir sungai Konaweha. Ditambah lagi dampak dari limbah industri PT VDNI dan rumah tangga karena zat pencemar ikut masuk ke tubuhnya melalui proses penyaringan air.
Kendatipun demikian, pemerintah Kabupaten Konawe sejauh ini belum memiliki upaya yang serius dalam mencari solusi untuk kelestarian masa depan kerang yang konon menjadi icon daerah tersebut.
“Salah satu solusinya adalah melalui program budidaya Pokea. Namun, pelaksanaannya tidak mudah. Tantangan utama terletak pada sulitnya mendapatkan sumber benih, mengingat Pokea bukanlah jenis biota yang mudah dibudidayakan seperti ikan,” katanya.
Lebih lanjut, Apono mengklaim bahwa air sungai Konaweeha saat ini masih tergolong aman. Tetapi disisi lain kerang pokea telah terkontaminasi dengan zat logam berat, namun masih tergolong aman untuk dikonsumsi. “Langkah mitigasi harus segera diambil,” tegasnya.
Menurutnya, penguatan regulasi lingkungan menjadi kunci. Setiap kegiatan usaha di sekitar pesisir sungai, termasuk aktivitas pertambangan pasir, harus terlebih dahulu lulus proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Tujuannya adalah untuk memastikan tidak ada kegiatan yang memperburuk kualitas air dan mengancam habitat organisme lokal seperti Pokea.
“Sebagai organisme dekomposer atau pengurai, Pokea memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem sungai,” pungkasnya.
Belum Ada Perhatian Pemerintah
Akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo (UHO), Prof. Dr. Bahtiar, S.Pi., M.Si mengungkapkan pemerintah seharusnya memberikan perhatian terhadap keberlangsungan kerang pokea karena ini merupakan icon daerah yang sering digunakan sebagai pengganti ikan.
Aktivitas industri dan penambangan pasir dikhawatirkan terus menekan populasi pokea. “Riset saya tahun 2012 menunjukkan, penambangan pasir menghilangkan habitat pokea hingga 2 kilometer di sepanjang sungai,” kata Prof. Bahtiar saat ditemui diruang kerjanya.
Ia menjelaskan, kerang pokea mendiami zona muara sejauh 15 kilometer, tetapi hanya hidup di perairan tawar. Begitu air asin masuk, pokea tidak bisa bertahan. Pada musim kemarau, banyak kerang mati di daerah peralihan karena pokea sangat sensitif terhadap air laut.
Selain itu, pokea di Sungai Konaweha memiliki pasokan makanan melimpah karena muara rawa Aopa memasok bahan organik. Saat musim hujan, eceng gondok yang memenuhi sungai menjadi sumber makanan utama mereka.
“Yang paling mengancam adalah kerusakan lingkungan, terutama pertambangan pasir. Lumpur dari pertambangan menyumbat sistem pernapasan dan pencernaan pokea karena hewan ini menyaring makanan sekaligus bernafas melalui insang yang sama. Akibatnya, banyak pokea mati tercekik,” jelasnya.
Sementara itu, kontaminasi logam berat yang terkandung dalam pokea kata Prof Bahtiar belum menjadi masalah serius karena masyarakat menangkap pokea saat masih umur muda.
“Pokea sebenarnya bisa mengakumulasi logam seperti besi dan nikel, tetapi karena umurnya pendek, kadar logam dalam tubuhnya masih rendah. Berbeda jika ukuran kerang sudah besar sekali itu kemungkinan dia terpapar dan terakumulasi logam tinggi,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan Kerang Pokea memiliki nilai gizi tinggi, kaya protein, kalsium, taurin, dan asam amino yang baik untuk pertumbuhan tulang anak
“Di daerah lain pokea ada, tetapi tidak dimanfaatkan seperti di sini. Dengan kandungan nutrisinya yang menjanjikan, pokea berpotensi menjadi komoditas unggulan jika dikelola dengan baik,” ungkapnya.
Laporan: Muhammad Sulhijah