Oleh: Awaluddin AK., S. HI
(Penggiat Pemilu/Anggota Bawaslu Konawe Selatan Masa Tugas 2018-2023)
Salah satu wujud nyata demokrasi secara prosedural adalah Pemilu, sebagai instrumen peralihan estafet kepemimpinan nasional dan mekanisme pemberian mandat wakil rakyat lima tahunan yang sah. Hingar bingar Pemilu kali ini sangat dirasakan dan cukup menguras emosi publik terutama dalam perhelatan Pilpres. Penandanya, dalam hitungan hari lagi menuju fase klimaks Pemilu satu hari terbesar di dunia (the biggest one-day elections in the world), sedang dalam kritik bahkan sampai memunculkan adanya upaya mengambil sikap “jalan kompas” desakan pergantian kepemimpinan dengan wacana pemakzulan Presiden. Wajar saja ini dinilai feasible sebagai reaksi terhadap sebuah situasi dimana das sollen tidak sejalan dengan das sein. Apa yang dicita-citakan melalui amanat konstitusi dan norma hukum dibawahnya pada level praktek menunjukkan fakta yang berbeda. Senyatanya, portofolio wajah Pemilu dan demokrasi kita telah diwarnai politik saling sandera kasus korupsi di level elite, Mahkamah Konstitusi (MK) dibajak oleh kepentingan politik keluarga, terciderainya netralitas politik Pemilu, upaya pembungkaman dan intimidasi terhadap suara-suara kritis menjadi penyumbang tergerusnya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sementara orkestrasi politik lain sedang dipertunjukkan, segala cara dilakukan untuk membangun citra baik, kesan tidak haus kekuasaan, membahagiakan serta melindungi rakyat, dan menebar janji setia pada kepentingan rakyat. Segala media yang tersedia dikerahkan untuk membangun citra itu, tidak pandang apakah yang disampaikan sesuai atau tidak dengan kenyataan.
Rakyat sebagai pemilik kedaulatan disuguhkan dan dipaksa menikmati ‘dramaturgi politik’. Panggung depan tampak begitu ramah, bersahaja, dan sangat cinta NKRI, sedangkan di panggung belakang penuh dengan intrik yang membahayakan demokratis dan negara hukum. Sosiolog asal Kanada, Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Everyday Life (1959) mendefiniskan dramaturgi sebagai sandiwara kehidupan yang mengharuskan manusia memainkan peran dengan menampilkan sisi depan (front stage) dan sisi belakang (backstage). Potret perpolitikan kita juga diekspresikan oleh Bivitri Susanti dalam ‘Atas Nama Pembangunan’ (Kompas, 11 November 2021) yang mengatakan, “Hari-hari ini demokrasi seperti cangkang kosong. Ia terlihat bagus dari luar, tetapi di dalamnya tak berisi.” Lukisan satir Bivitri menegasi apa yang sudah dinukilkan sebelumnya oleh Buya Syafii, yang menggambar keadaan sebagai, “Jika Republik ini diibaratkan sebuah restoran tertentu, bersih, mentereng, dan gagah di bagian depan, tetapi jorok dan berantakan di bagian dapur. Atau, mentereng di luar, remuk di dalam (Kompas, 10 November 2021).
Sebagai konsekuensi, impact-nya di level rakyat terbelah. Sebagiannya larut dengan genderang sumbang yang dimainkan para elite. Sikap permisif strong/loyal voters terhadap praktik menyimpang dan manipulative dengan anggapan adalah sebagai sebuah hal yang wajar dalam kontestasi politik. Glorifikasi terhadap sosok pilihannya dan menggunakan kacamata kuda dalam menilai kontestan lainnya. Sebagian lagi terbawa arus pragmatisme sehingga sangat mungkin memilih jalan pintas ‘menjual’ suara kepada siapa yang mau membelinya. Rakyat menyandera diri kedalam aktifitas perilaku yang transaksional ‘nomor piro wani piro’ (NPWP). Sebagian lainnya bisa jadi masih akan berusaha menjaga kemurnian suara dengan menjaga sikap kritisnya dalam menentukan pilihan. Sisanya, ada yang bersikap masa bodoh, kecewa, dan mungkin memilih golput dalam pemungutan suara nanti.
Pemilih Melek Politik
Habermas mengatakan, bahwa “semua wilayah atau ruang kehidupan social yang memungkinkan adanya terbentuk pendapat umum (public opinion) dapat dipahami sebagai ruang public.” Dalam buku Politics-nya, sang Filsuf Yunani Aristoteles mengungkapkan, “Man is by nature a political animal dimana ‘manusia’ pada hakikatnya ialah makhluk politik’.” Agama sekalipun, yang di dalamnya menyangkut urusan pribadi dan hubungan transendental manusia dengan Tuhan-nya, tidak luput dari politik. Baik politik dalam arti terbatas-memengaruhi orang lain agar mengikuti ajaran agama yang dianut, maupun kaitannya dengan upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan politik atas nama syiar dan tegaknya agama di ruang publik. Islam, misalnya, sejak kehadirannya 14 abad silam, syiar dakwahnya selalu bersentuhan dengan politik. Aktifitas politik berdampak sangat luas dalam kehidupan sosial Rasulullah SAW bersama para sahabat dengan masyarakat terutama pada fase dakwah di Madinah. Inilah realitas nilai-nilai universal dari politik itu sendiri, dan kendatipun sangat possible namun masih ada saja sebagian kalangan masyarakat menengah keatas, termasuk kaum terpelajar, masih bersikap apatis (apolitik). Ironinya ada yang mengaku alergi bicara dan bersentuhan dengan politik (antipolitik). Mestinya kita kembali merenungkan sejenak pesan Bertolt Brecht bahwa, “buta terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik tidak sadar bahwa hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat semuanya bergantung keputusan politik.”
Padahal, menghindar dari obrolan politik adalah bagian dari sikap politik juga. Sikap diam merupakan simbol persetujuan atas apa pun laku politik para politikus. Silence implies consent (diam ialah persetujuan), ungkap para ahli komunikasi politik. Kalangan yang mengaku golongan putih (golput) atas nama idealisme dan kepatuhan ideologis atau hak untuk tidak memilih (not to vote is to vote) masuk ke kelompok tersebut. Disadari atau tidak, golput menyediakan ruang politik bagi politikus gentong-babi (pork-barrel politicians) meraih dan mempertahankan kekuasaan. Prinsip dasarnya, posisi pemilih yang paling diharapkan ialah mereka yang peduli Pemilu dan memilih untuk menjaga kemurnian suaranya dalam bilik suara pada 14 Februari 2024 di TPS mendatang. Pemilih tidak sekedar menemukan siapa figur ideal yang akan dipilih sesuai hati nurani tetapi juga lebih dari itu harus terlibat aktif memastikan proses Pemilu berjalan dengan jujur dan adil. Demi menjaga muru’ahnya, pemilih yang notabene pemilik hak politik wajib melek politik. Ini pakemnya.
Kanal Literasi Pemilu
Dalam konteks pertanggungjawaban publik, asa terhadap para pemilih di atas disaat yg sama mesti disambut dengan menawarkan ekosistem yang baik, baik dari aspek teknis penyelenggaraan Pemilu serta pengawasannya, maupun aspek kemitraan para pihak yang berkepentingan bersamaan dengan eksistensi subjek/pemerannya. Dari para subjek ini, pemilih mendapatkan akses edukasi dan informasi yang baik tentang bagaimana Pemilu dilaksanakan dengan fair. Ancaman Pemilu yang dimanipulasi oleh oligarki meski harus antisipasi dengan menyediakan kanal dan ruang literasi untuk menumbuhkan sence of crisis agar pemilih sadar bahwa mereka sedang menentukan nasibnya lima tahun kedepan. Pemilih harus dikembalikan eksistensinya sebagai subjek meskipun belum terorganisir tetapi setidaknya sudah memiliki sence of belonging.
Ancaman berikutnya, pemilih diperhadapkan dengan era masyarakat-sosial post-truth dimana keadaan masyarakat tidak lagi peduli dengan kebenaran. Konsumsi berita dan informasi terhadap produksi platform digital dan media sosial tidak lagi disandarkan pada fakta yang objektif atau terbukti kebenarannya. Tak jarang masyarakat pemilih terjebak dalam praktik penyebaran ujaran kebencian dan hoaks. Konsumsi konten politik dari media social masih mendominasi ditengah keprihatinan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Survei Ipsos menunjukkan data bahwa orang Indonesia rata-rata menghabiskan lebih dari 2 jam waktunya dalam sehari menonton video pendek. Laporan bertajuk “State of Mobile 2024” yang dipublikasikan oleh Data.ai. menunjukkan bahwa orang Indonesia menjadi negara paling lama menghabiskan waktu rata-rata sekitar 6,05 jam setiap harinya untuk bermain smartphone pada tahun 2023. Semetara data UNESCO yang dimuat per oktober 2017 oleh laman resmi KOMINFO, menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 % dari 100.000 orang. Itu artinya dari 1.000 orang Indonesia cuma 1 orang yang rajin membaca. Ini menunjukan kondisi masyarakat pemilih sangat rentan terpapar konten yang bermuatan ujaran kebencian dan hoaks. Maka peran media mainstream baik nasional maupun lokal sangat strategis dalam memainkan peran sebagai sumber literasi berita dan informasi terpercaya di tengah disrupsi teknologi terutama di berbagai platform media sosial.
Pemilu tak hanya sekedar wadah kontestasi untuk meraih kursi. Pemilu terutama dalam masa Kampanye harus ditransformasi layaknya sebuah majelis ilmu untuk mendidik khalayak, sekaligus merawat ruang publik (public sphere) tetap sehat dengan cara menumbuhkan tradisi dialog dan menyediakan akses literasi konvensional untuk mencerdaskan pemilih. Sebagaimana sangat relatable dengan ketentuan pasal 267 ayat (1) Undang-Undang 7 tahun 2017 yang menegaskan bahwa Kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggungjawab. Pemanfaatan media sosial oleh stakeholder kepemiluan harus dimasifkan dan diefektifkan sebagai gerakan literasi digital yang mengedukasi dan memberikan informasi kepada pemilih agar bijak. Melalui media sosial, pemilih lebih didorong agar memiliki sikap kritis dan double check dalam mengkonsumsi sebuah konten. Penguatan gerakan literasi digital ini, dapat juga diupayakan dalam konteks langkah mitigasi kerawanan penetrasi media sosial dengan membangun pusat kolaborasi multi-stakeholder berupa komunitas penjaga (shield community) untuk countering penyebaran isu SARA, hoaks dan ujaran kebencian. Konten yang dihadirkan juga lebih partisipatif agar tumbuh kesadaran kolektif pemilih untuk ikut jaga bersama Pemilu demi kebaikan hidup bersama.
Menariknya, Pemilu kali ini menghadapi bonus demografi dimana pemilih dengan dominasi terbesar dihuni oleh Gen Z dan Milenial sebanyak 56,45 %. Phil Howe dan Williams Stratus (2010) menyebutkan bahwa generasi milenial sangat berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, khususnya generasi baby boomers yang lahir dalam rentang waktu 1945-1960-an. Generasi ini cenderung lebih menginginkan adanya interaksi sosial dan kolaborasi tim dalam tempat kerja, keberadaannya cenderung inovatif. Dinilai memiliki karakter yang lebih kritis, melek informasi dan kesehariannya sangat dekat dengan teknologi. Kelompok ini potensial digerakkan partisipan (partner) dalam menghidupkan literasi kepemiluan agar nilai² Pemilu yang demokratis tidak tergerus dengan cara berpolitik yang nir etika dan aturan hukum.