Betapa kejam dan sadis pandemi covid-19. Mungkin banyak diantara kita yang kurang bahkan cenderung tidak percaya perihal covid ini.
Ada yang mengangap remeh, ada yang menjadikan lelucon, tapi ada juga yang benar-benar percaya dan takut. Namun percaya atau tidak. Pemerintah tidak mungkin seserius ini jika covid ini hanya sekedar drama dan lelucon belaka.
Apa sandiwara, seorang mayat terkonfirmasi positif dikubur begitu saja berlapis plastik. Seorang dokter, tenaga kesehatan yang gugur demi kemanusiaan dikubur juga demikian mirisnya. Apa iya ini sebuah tindakan fiktif dan dramatis ketika anggaran APBN dan APBD untuk pembangunan dialihkan dan difokuskan untuk covid.
Mari bertanya pada hati tentang covid. Covid tidak akan berakhir jika kita tidak berangkat dari kepercayaaan bahwa ini adalah ancaman keselamatan, membunuh nyawa dan menyandera kebebasan bersosial. Ekonomi, sosial, keagamaan, pendidikan lumpuh. Dan ini bukan komedi.
Tulisan kali ini ingin saya kisahkan suatu insiden kemanusiaan bagaimana covid mengasingkan kami satu kampung. Tersandera di kampung sendiri.
Mungkin hampir setiap hari, gugus tugas kabupaten/kota, provinsi dan nasional mengumumkan grafik penanganan covid, mulai dari yang ODP, reaktif, terkonfirmasi positif, hingga yang terenggut nyawanya.
Tapi tidak pernah sekali diumumkan bagaimana pedisnya terdampak covid pada sisi sosial kemasyarakatan dan ekonomi.
Bahwa pernah suatu ketika, seorang mahasiswa asal Desa Kosebo, Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara terkonfirmasi positif Covid.
Namanya Munawir masih kemenakan. Sekira empat bulan lalu saat pulang dari Makassar tempat ia menempuh pendidikan, dia lalu demam dua minggu. Setelah itu diperiksa oleh tim gugus tugas dan dinyatakan terkonfirmasi positif covid.
Hampir 4 bulan lamanya di isolasi dan menjalani perawatan di RSUD Kabupaten Konsel. 3 kali swab masih saja positif hingga begitu lamanya. Orang tuanya dikurung dalam rumah, dan tak bisa beraktivitas diluar rumah. Untuk sekedar makan seperti mencuri hasil usaha sendiri, semua dilakukan diam-diam.
Alhamdulillah waktu panjang itu berhasil dilewatinya. Tentu karena doa dan ikhtiar seluruh tenaga medis yang telah berusaha maximal.
Lalu bagaimana dengan warga sekampung. Rasanya sepanjang seorang Munawir diisolasi, selama itu juga sekampung dihukumi dampak sosial. Terasingkan, terisolir dan tersandera di dalam kampung sendiri.
Sekampung dikarantina, tak ada lagi tetangga yang saling mengunjungi. Bahkan beberapa dari warga kami ke pasar tradisional yang jaraknya tidak begitu jauh, letaknya bertetangga/berseblahan desa dengan desa kami. Namun yang terjadi adalah pengusiran. Ya warga kami diusir hanya karena ditahu berasal dari desa yang terkonfirmasi positif.
Banyak perlakuan buruk yang diterima. Dianggap jijik, dijauhi, bahkan diusir, tak ada ruang sosial lagi bagi warga kami. Ruang aktivitas terbatas. Untuk melanjutkan hidup tinggal berharap dan menadah tangan menunggu ulur pemerintah.
Dari ujung hingga ke ujung kampung dilakukan pembatasan ketat. Tak boleh ada keluar kampung dengan dalih apapun. Saya sendiri sebagai pewarta yang bertugas di Kota Kabupten hanya bisa terdiam dalam rumah memantau perkembangan via online. Warga lainnya bisa melewati proses panjang ini karena beruntung. 95 persen penduduk adalah petani yang lahan garapannya tepat di belakang rumah. Sehingga waktu tidak begitu dirasa. Hari-hari dapat dihabiskan di kebun.
Sejahat itulah semesta memperlakukan. Memang Munawir tidak dibunuh oleh covid, tapi sekampung tersanderah dan terisolir dikampung sendiri hanya karena satu orang. Begitulah sesingkat cerita suatu kondisi nyata betapa jahatnya covid berdampak.
Diakhir tulisan ini, saya mengajak kita semua untuk mematuhi protokol kesehatan. Karena masker yang anda pakai tidak hanya melindungi dirimu tapi juga melindungi orang sekitar, tangan yang anda cuci tidak hanya melindungimu tapi juga orang sekitar. Patuhilah protokol kesehatan dan mari saling membahu melawan covid. (Feature : Aliyadin)