“Tinjauan Hukum Perbedaan Penghinaan/Pencemaran Nama Baik
di Media Sosial Dengan Kritik Sosial”
Oleh : Hidayatullah, S.H*)
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”
(QS. Luqman: 17)
Pengantar
Memasuki hari ketujuh ramadhan 1442 H penulis tergerak untuk mengajak para pengguna sosial media (sosmed) agar lebih waspada dan bijaksana dalam memposting atau sekedar menulis status. Awalnya penulis mengira dan berharap semoga di bulan suci penuh berkah ini sementara waktu akan sepi dari aktivitas saling bergunjing (gossip) di media sosial, kalaupun ada paling tidak bagi yang muslim postingannya berkaitan dakwah atau anjuran-anjuran kebaikan untuk konsentrasi terhadap amalan ibadah yang dianjurkan. Bagi yang non muslim patut untuk menghargai dan menghormati ibadah puasa bagi umat muslim dimanapun dan kapanpun.
Tetapi kenyataanya di bulan ramadhan ini penulis amati tiga kali lipat keramaian di sosmed dari hari-hari sebelum ramadhan. Bahkan banyak juga status-status yang justru tidak disadari berkonsekwensi hukum akibat kelalaian jari-jemari menulis di dinding akun media sosial. Sementara disisi lain revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sempat digaungkan Presiden Joko Widodo sejak awal Februari 2021 ternyata dipertengahan Maret lalu gagal atau tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021. Hal ini sesuai kesepakatan Pemerintah, dan DPR. Artinya ancaman keberlakuan sanksi pemidanaan/pemenjaraan bagi pelanggar UU ITE masih berlaku, terutama kasus-kasus yang menyangkut penghinaan/pencemaran nama baik, ujaran kebencian maupun SARA melalui informasi teknologi terutama sarana media sosial.
Batalnya rencana revisi UU ITE tentu mengecewakan publik dan juga bertentangan dengan spirit awal saat Presiden Jokowi menggaungkan wacana tersebut sejak 08 Februari 2021 dikala beliau memberi sambutan di laporan akhir tahun 2020 Ombudsman RI, bahwa “masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan-perbaikan”. Setelah Presiden Jokowi menyampaian sambutan itu membuat ramai tanggapan publik yang merespons positif ajakan Jokowi agar masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik. Tetapi tentunya respon publik hampir semua sama terhadap kendala dan hambatan dengan pemberlakuan pasal-pasal karet dari UU ITE No. 11/2008 dan perubahannya No. 19/2016. Isu utama publik agar UU ITE direvisi adalah pasal – pasal karet diantaranya Pasal 27 ayat (3), Pasal 45 ayat (3) yang mengatur soal ketentuan pidana atas penghinaan atau pencemaran nama baik, dan Pasal 28 Ayat (2) tentang ujaran kebencian berbasis SARA yang kerap menjadi alat kriminalisasi dan tidak menujukkan prinsip keadilan disana.
Gagalnya revisi UU ITE yang tidak masuk dalam daftar Prolegnas prioritas 2021 dijelaskan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dilansir oleh beberapa media massa mengatakan, rencana revisi UU ITE ditunda lantaran pemerintah masih menampung aspirasi publik dan akan dilakukan public hearing terlebih dahulu. Lagi pula ada kaitannya juga dalam RUU KUHPidana yang sedang dibahas secara mendalam oleh DPR dan Pemerintah. Sehingga Pemerintah terlebih dahulu membentuk dua tim pengkaji UU ITE yakni tim yang mengkaji pedoman penerapan UU ITE dan tim yang mengkaji revisi UU ITE.
Olehnya itu, dengan keadaan diatas, anggap saja revisi UU ITE tidak ada dan tidak perlu terlalu berharap banyak untuk perbaikannya. Sekarang adalah bagaimana saling mengingatkan agar masyarakat dapat mawas diri, cerdas dan bijaksana dalam mengunggah status, membagi tautan berita, komunikasi melalui chat, komunikasi audio/visual yang dimiliki oleh fasilitas media sosial. Begitu pula dalam menyampaikan kritik serta mengeluarkan pendapat di media sosial untuk menghindari unsur penghinaan atau mencemarkan nama baik orang lain sehingga dapat terhindar dan tidak terjerat hukum dalam melakukan kritik atau memposting sesuatu.
Pengguna Sosmed Jangan Buta Hukum
Para pengguna Sosmed agar terhidar dari masalah hukum, maka perlu luangkan waktu biar sejenak untuk berselancar pada direktori putusan Mahkamah Agung dengan kata pencarian “pencemaran nama baik”. Disana banyak sekali ditemukan kasus-kasus beragam dengan sanksi yang juga beragam. Bahkan ada manfaat penguna sosmed juga mengetahui bahwa selain keteledoran atau kelalaian individu juga sarana media sosial baik itu facebook, whatsapp, Instagram, dan Telegram terdapat sejumlah pihak dapat menjebak melakukan berbagai tindak pidana baik dalam bentuk penipuan, pemalsuan, tayangan bermuatan pornografi, termasuk perbuatan sengaja menyebabkan penghinaan/pencemaran nama baik. Terkait penghinaan/pencemaran nama baik melalui media sosial tersebut cukup banyak memiliki karakteristik khusus yang dapat diketahui melalui vonis putusan-putusan hakim di pengadilan berbagai tingkatan.
Dalam putusan-putusan hakim tersebut banyak terdakwa yang didakwa karena melanggar ketentuan penghinaan/pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud Pasal 45 ayat (3) UU No. 11/2008 atau Pasal 45 ayat (3) UU No 19/2016. Banyak terdakwa yang dinyatakan bersalah dengan sejumlah sanksi hukuman yang dijatuhkan. Dari sanksi hukuman terendah pidana penjara dengan masa percobaan sampai hukuman penjara.
Aspek Hukum Pencemaran Nama Baik Dalam UU ITE
Sebagaimana penjelasan umum UU ITE khususnya UU No. 19/2016 perubahan UU No. 11/2008 bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik. Frasa “rasa aman” bagi penggunan teknologi dan informasi yang dimaksud dapat berupa perlindungan hukum dari segala gangguan tindak pidana, baik secara verbal, visual maupun yang menyebabkan terjadi kontak fisik. Namun faktanya untuk menghalau terjadinya tindak pidana bagi pengguna media sosial tidaklah begitu mudah karena cakupan yang luas sampai pada wilayah privat pengguna jejaring sosial apalagi dengan standar pencegahan yang minim serta pemahaman hukum yang rendah bagi pengguna media sosial.
Dalam UU ITE No. 11/2008 terdapat 8 (delapan) pasal ketentuan pidana namun UU ITE pada perubahan UU No. 19/2016 telah melakukan perubahan dalam Pasal 45 dan penambahan Pasal 45 A dan 45 B yang kesemuanya berfungsi menjerat pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan Teknologi Informasi (Cyber Crime). Misal salah satu diantaranya adalah Pasal 45 ayat (3) UUITE 2016 : “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.
Secara mendasar perubahan ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU ITE No. 11/2008 menjadi Pasal 45 ayat (3) UU ITE No. 19/2016 terkait penghinaan/pencemaran nama baik adalah lamanya pemidanaan yang berkurang dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi 4 (empat) tahun, adapun denda dari semula 1 miliar menjadi 750 juta. Sehingga berkurangnya ancaman pidana, maka berdampak ketika tersangka/terdakwa menjadi tidak dapat ditahan oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim.
Selain itu, terdapat perubahan yang merubah sifat delik pada bagian penjelasan ketentuan Pasal 27 UU ITE No. 11/2008 yang sebelumnya tertulis “jelas” kemudian di dalam penjelasan Pasal 27 UU ITE No. 19/2016 berubah menjadi “Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”. Hal ini semakin memperjelas pemaknaan pencemaran nama baik dan/atau fitnah sebagaimana diatur dalam KUHP.
Dalam KUHP tersebut delik penghinaan diatur pada Bab XVI yang di dalamnya terdapat rumpun pencemaran nama baik. Sebagaimana pengertian umum bahwa penghinaan merupakan keadaan seseorang yang dituduh atas sesuatu hal yang benar faktanya namun bersifat memalukan karena diketahui oleh umum sebagaimana dimaksud Pasal 310 ayat (1) KUHP dan kebalikannya apabila yang dituduhkan itu tidak benar maka dia dianggap melakukan fitnah/pencemaran nama baik sebagaimana maksud Pasal 311 ayat (1) KUHP. Menurut R. Soesilo jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk kategori delik pada Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”.
Dalam UU ITE No. 11/2008 bahwa penghinaan/pencemaran nama baik merupakan delik biasa sehingga dapat diproses secara hukum sekalipun tidak adanya pengaduan dari korban namun dengan mengacu pada KUHP sebagaimana maksud UU ITE No. 19/2016, maka delik tersebut berubah menjadi delik aduan (klacht delic) yang mengharuskan korban membuat pengaduan kepada pihak berwajib (kepolisian). Muatan norma penjelasan Pasal 27 UU ITE No. 19/2016 mengadopsi pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-VI/2008 Jo Putusan MK No. 2/PUU-VII/2009.
Dalam pertimbangan Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 disebutkan bahwa keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.
Kalimat Kutipan Bukan Merupakan Penghinaan /Pencemaran Nama Baik
Penulis menemukan beberapa kasus, salah satunya Putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA) ditahun 2015 dengan No. 955 K/Pid.Sus/2015 yang mana MA menolak permohonan kasasi penuntut umum sehingga berlaku putusan pengadilan tingkat pertama yang membebaskan terdakwa dari semua dakwaan. Terdakwanya adalah salah seorang anggota DPRD. Dalam pekara ini terdakwa dilaporkan karena mengunggah status di facebooknya yang mengutip Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa terjadi penyimpangan dana….. terjadi di kota…… Walaupun status dan kedudukan terdakwa adalah anggota DPRD dapat menunjukkan bahwa pengguna facebook tidak terbatas profesi tertentu karena facebook merupakan sarana media sosial yang terbuka luas terhadap semua kalangan dari latar belakang apapun.
Dari kasus tersebut majelis hakim pada MA memberikan pertimbangan hukum bahwa, “kata-kata yang diucapkan terdakwa tersebut bukan merupakan kata-kata karangan terdakwa sendiri, melainkan kutipan dari statement Resume Lembaga Negara (BPK) sesuai hasil laporan hasil pemeriksaan BPK, kata-kata tersebut tidak ditujukan kepada pihak tertentu, serta tidak dengan makna menyiarkan kabar bohong/fitnah”. Mencermati pertimbangkan putusan tersebut maka sebenarnya mengukuhkan kebebasan pengguna media sosial sepanjang ditulis berdasarkan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum namun tidak ditujukan terhadap pihak tertentu. Namun kasus ini bisa juga akan terjadi perbedaan sudut pandang apabila terdakwa menyebutkan nama pihak atau pejabat tertentu yang belum diproses secara hukum.
Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Bukan Bagian Dari Kritik Sosial
Berkaitan dengan banyaknya polemik yang terjadi khusus pihak-pihak pengkritik sosial terhadap kebijakan-kebijkan pejabat tertentu yang diterpa delik penghinaan/pencemaran nama baik, dimana maksud pengkritik menulis status atau menyiarkan berita tertentu melalui sosmed sebagai bentuk kritik sosial. Ternyata penulis menemukan salah satu Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 364 K/Pid.Sus/2015 yang menolak permohonan kasasi terdakwa. Adapun terdakwa dinyatakan bersalah melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui informasi teknologi oleh majelis hakim pengadilan negeri (tingkat pertama). Dimana terdakwa melalui akun facebooknya mengunggah status dan membagikan informasi tersebut di grup facebook mengakibatkan penyebaran informasi begtiu cepat dan meluas.
Dalam pertimbangan hukum, majelis hakim (kasasi) menyatakan bahwa, “perbuatan terdakwa yang membuat tulisan di situs jejaring sosial facebook tidak dapat lagi dinilai sebagai bentuk kontrol sosial atau kritik membangun terhadap lingkungan maupun aparat penyelenggara pemerintahan. Sebab tulisan terdakwa sudah mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap saksi pelapor”. Pertimbangan ini, memastikan batasan-batasan kebebasan seorang pengguna sosmed terhadap hak-hak objek yang menjadi isi muatannya sehingga perlu dipilah muatannya maupun mens rea (niat jahat).
Tetapi adapula putusan pengadilan yang membenarkan kritik sosial untuk kepentingan umum sehingga beberapa terdakwa dibebaskan dari dakwaan UU ITE, tetapi dengan sejumlah kriteria sebagai berikut :
- kapasitas terdakwa berkaitan dengan objek yang disebutkan dalam unggahannya,
- terdakwa dan korban tidak saling mengenal sehingga tidak terdapat konflik pribadi,
- perbuatan terdakwa dilakukan semata-mata adalah sebagai bentuk protes.
Menulis Status Dengan Penyebutan Nama Yang Tidak Sempurna
Penulis menemukan salah satu Putusan MA No. 2172 K/Pid.Sus/2015 yang pada pokoknya menolak permohonan kasasi penuntut umum dan kasasi terdakwa dengan pertimbangan bahwa, “meskipun terdakwa tidak menyebutkan nama lengkap objek yang dicemarkan nama baik namun dapat dipastikan kata-kata itu ditujukan kepada saksi korban”. Dalam kasus ini terdakwa berkelit terhadap dakwaan penuntut umum dengan dalih tidak menyebutkan nama korban secara benar/lengkap, tetapi bukti-bukti yang terungkap dalam fakta persidangan mampu menunjukkan hubungan antara maksud kata-kata tersebut dengan keadaan/kedudukan korban.
Maka, melalui putusan ini penulis mengingatkan kepada pengguna sosmed agar dapat menyadari sesungguhnya penegak hukum dapat melakukan analisis terhadap konten kalimat di dalam unggahan di media sosial. Status yang ditulis merupakan konten kalimat oleh penegak hukum dapat meminta pendapat ahli bahasa dan ahli pidana untuk menemukan maksud yang tersembunyi dari konten kalimat yag dibuat.
Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Merupakan Kerugian Immaterial
Penulis juga menemukan suatu peristiwa pidana seperti pada putusan Kasasi MA No. 2290 K/PID.SUS/2015. Peristiwa ini terjadi pada saat terdakwa mengunggah status yang bermuatan penghinaan di facebook-nya melalui handphone secara berlanjut pada waktu yang tidak terlalu lama dari unggahan pertama. Hal ini menunjukkan bahwa facebook menjadi media yang mudah untuk dimanfaatkan oleh penggunanya karena hanya dengan kedua jempol pada saat mengetiknya.
Pada kasus ini majelis hakim menolak alasan kasasi terdakwa terkait lamanya pemidanaan yang diterima terdakwa dari putusan judex facti. Adapun salah satu pertimbangan majelis hakim adalah kerugian yang bersifat immaterial yang diderita korban tidak dapat dinilai dengan uang, karena kedudukan korban yang saat itu adalah sebagai Bupati. Salah satu akibat yang dirasakan korban adalah hilangnya kepercayaan orang/masyarakat yang membaca tulisan pada akun Facebook Terdakwa. Membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan menjadi tanggungjawab berat kepala daerah dan umumnya membutuhkan waktu namun kepercayaan tersebut dapat hilang dengan cepat karena penghinaan/pencemaran nama baik melalui facebook.
Sifat hukum immaterial ini sejalan dengan kaidah perbuatan melawan hukum dalam perdata yang mengatur bahwa cakupan kerugian immaterial hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja seperti perkara kematian, luka berat dan penghinaan (Putusan perkara Peninjauan Kembali No. 650/PK/Pdt/1994).
Kesimpulan
Terhadap delik “Penghinaan/Pencemaran Nama Baik” melalui media sosial secara hukum dapat dihindari ketika pengguna lebih cermat dan bijaksana dalam mengunggah status sehingga memberikan rasa aman bagi semua pihak. Ada istilah umum didunia aktivis bahwa lakukanlah kritik dengan cara yang intelek (etika kritik). Karena apapun bentuk penghinaan/pencemaran nama baik melalui media sosial dari aspek hukum dapat terpidana/terpenjara. Terutama pengguna sosmed terbanyak saat ini adalah jejaring facebook dan group WhatsApp. Sarana facebook dan WhatsApp memiliki karakter yang mudah dilakukan hanya dengan sarana handphone dengan pengunaan dua jempol. Dampaknya dengan mudah dan cepat tersebar dan diketahui luas oleh publik. Semua pengguna dengan mudah dapat melakukannya yang berdampak langsung pada pembentukan opini publik.
Sehingga dari beberapa contoh penulis ungkap dan ulas dari sejumlah putusan pengadilan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Bahwa kalimat kutipan bukan merupakan penghinaan/pencemaran nama baik.
- Penghinaan/pencemaran nama baik bukanlah bagian dari “kritik sosial”.
- Penyebutan nama yang tidak sempurna dengan melihat mens rea (niat jahat).
Penghinaan/pencemaran nama baik juga bagian dari kerugian immaterial.
Pada bagian akhir tulisan ini, penulis mengutip salah satu surat dalam ayat suci Al Qur’an;
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan melampaui batas.”
(QS. Al Maidah: 2)
Demikian, semoga bermanfaat, dan cerdaslah bermedsos untuk menjaga ragamu dari keteledoran kedua jempol tanganmu Selamat menunaikan ibadah puasa ramadhan 1442 H.
Bumi Anoa, 19 April 2021
*)Penulis ; Praktisi Hukum/Ketua Presidium JaDI Sultra