Kendari, Sultrademo.co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia (RI) sebelumnya telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Andi Merya Nur, Bupati Kolaka Timur (Koltim) pada Selasa malam (21/9/2021).
Setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi suap dana hibah yang berasal dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Rabu (22/9), Andi Merya Nur langsung dinonaktifkan sebagi Bupati Koltim.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Politik Sulawesi Tenggara (Sultra) Prof Eka Syuaib mengatakan ia cukup kaget dan perihatin atas kasus yang menimpa Andi Merya Nur.
Pasalnya saat menjadi wakil bupati dari Tony Herbiansyah, Prof Eka Syuaib mengaku sempat berdiskusi dengan Andi Merya mengenai pandangannya terkait pengelolaan pemerintahan Koltim.
Menurutnya, pada masa kepemimpinan Tony Herbiansyah sebagai Bupati Koltim, wakil bupati tidak diberikan peran dan pengelolaan yang sentralistik. Sehingga saat menggantikan Tony Herbiansyah sebagai Bupati Koltim, Andi Merya Nur berkomitmen untuk berbuat yang lebih baik dalam menata pemerintahan dari tahun sebelumnya.
Prof Eka Syuaib menilai, Andi Merya Nur sedang memikul beban politik balas budi dari bupati sebelumnya, baik dalam konteks relasi kuasa sebelum menjadi bupati dan saat menjadi bupati, sehingga ia terjerat kasus suap proyek dana hibah.
“Relasi kuasa sebelum menjadi bupati yakni Beban politik setelah bupati terpilih meninggal dunia, maka ‘Politik Balas Budi’ dan ‘Politik Balas Jasa’ dipikul oleh AMN. Fenomena ini terjadi karena pembiayaan politik saat pilkada begitu besar mulai dari masa pencalonan, kampanye, sampai dengan pengamanan suara, menjelang dan saat hari pencoblosan membutuhkan biaya yg amat tinggi,” ungkap Prof Eka Syuaib melalui realese persnya, pada Jumat (24/9).
Guru Besar Universita Halu Oleo ini melanjutkan, pada fenomena ini orang dan pengusaha yang sudah menyumbang saat sebelum pemilihan menganggap sebagai investasi dengan harapan bahwa jika sudah terpilih, bupati akan memberikan imbalan berupa kuasa proyek.
“Jadi, bisa diduga praktek ini adalah fenomena gunung es karena sudah terjadi aksi perburuan rente. Proyek proyek yang ada, sudah dikapling oleh inner circle dari bupati,” pungkasnya.
Selain itu, kata Prof Eka Syaib, terdapat relasi kuasa saat menjadi bupati yakni adanya hasrat politik untuk mau mempertahankan kekuasaan untuk tetap bertarung pada Pemilihan Umum yang akan datang di tahun 2024. Besarnya dana yang dibutuhkan untuk pembiyaan politik yang begitu besar, tidak diimbangi oleh pendapatan resmi sebagai bupati, sehingga memaksanya untuk mencari sumber-sumber pembiayaan lain agar dapat ikut dalam kontestasi politik nantinya.
“Seiring dengan makin meningkatnya pembiayaan partai dan juga mencalonkan diri, maka mau tidak mau bergantung pada sumbangan pihak ketiga, atau dari para pengusaha. Rupanya AMN sadar bahwa memang politik dikenal dengan tidak ada makan siang gratis,” bebernya.
Ia menambahkan, penyebab dasar dari kedua faktor tersebut karena managemen pemerintahan yang masih jauh dari primsip transparansi dan akuntabilitas.
“Akibatnya, terjadi monopoli kekuasaan dan diskresi pejabat tanpa adanya pengawasan memadai yang dapat mencegah korupsi. Memang ada lelang melalui barang dan jasa secara elektronik, tetapi tetap saja ada celah bagi aktor politik dan aktor bisnis dalam hal ini pengusaha dalam mempengaruhi pengambilan keputusan,” tutupnya.
Penulis : Luthfi Badiul Oktaviya
Editor : AK