Politik Identitas, Primordialisme dan Potensi Polemik di Sultra Dalam Menghadapi Pilkada 2024

Oleh : dr. Zainul Muhlisin, S.Ked.

Menjelang pilkada serentak yang merupakan ajang kontestasi politik dijadwalkan untuk dilaksanakan pada bulan November 2024 mulai membangkitkan semangat masyarakat Sulawesi Tenggara untuk mulai menelaah dinamika yang terjadi. Atmosfer politik mulai dirasakan seiring semakin dekatnya pelaksanaan pilkada .

Hal ini tidak terlepas dari beberapa Bakal calon yang telah menunjukan diri untuk maju dalam kontestasi politik 2024 khususnya dalam Pilgub. Gejolak dalam masyarakat tentunya merupakan sebuah konsekuesi dari keragaman penduduk dalam daerah tertentu. Sulawesi Tenggara, berdasarkan data terdiri dari 17 kabupaten/kota yang terdiri dari 15 kabupaten dan 2 kota, dengan luas wilayah sebesar 38.067,70 km2.

Bacaan Lainnya

Dikutip dari wikipedia, mayoritas penduduk yang mendiami provinsi Sulawesi Tenggara adalah suku asli setempat, termasuk diantaranya adalah suku Tolaki, Buton, Wawonii, Banggai, Balantak, Wolio-Buton, Muna, Moronene, dan lainnya. Suku Bugis asal Sulawesi Selatan menjadi jumlah terbesar dari suku lain asal provinsi lainnya. Ada sebagian suku lain yaitu Jawa, Makassar, Bali, Sunda dan suku lainnya dari berbagai daerah di Indonesia . Dari data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010, sebanyak 1.401.478 jiwa atau 62,90% dari 2.227.937 jiwa penduduk, adalah suku asal Sulawesi Tenggara (wikipedia). Sementara data Sensus Penduduk tahun 2021 – 2023 di Sulawesi Tenggara menunjukan jumlah penduduk saat ini mencapai 2.7497.010 (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara , Statistics of Sulawesi Tenggara Province).

Data demografi dari persebaran suku tentu dapat menjadi salah satu bahan acuan dalam menilai kekuatan paslon berdasarkan etnis . Kecenderungan dalam menilai dan menjadikan jenis etnis dalam mendukung Paslon tertentu merupakan dampak dari nilai primodialisme yang melekat erat disetiap kelompok penduduk masyarakat Indonesia khususnya Sultra. Dalam dinamikanya, nilai- nilai primordial dituangkan dan diwujudkan dengan penekanan identitas yang ditonjolkan dalam sebuah konstestasi politik . Isu-isu politik identitas dapat lahir dari berbagai macam faktor primordial yaitu agama, suku, gender, dan lain sebagainya.

Dari keberagaman suku dalam provinsi Sulawesi Tenggara tentu mendorong potensi politik identitas sebagai kendaraan dalam upaya mencapai kursi kemenangan atau kekuasaan. Dengan identitas-identitas tertentu, akan mampu menarik dukungan dari berbagai macam kelompok dengan jenis identitas yang sama. Pada dasarnya politik identitas telah secara masif diaplikasikan sejak revormasi pada pemilu tahun 1999 .

Banyaknya variasi partai politik dengan mengusung identitas islam sebagai asas partai yang kemudian membangkitkan semangat pemilih . Beda halnya dengan indentitas kelompok yang menggunakan ras, etnis sebagai kendaraan politiknya. Hal ini menjadi point utama sebagai instrumen kekuatan di Sulawesi Tenggara. Nilai Primordialsme yang kuat mendukung penggunaan indentitas kelompok sebagai alat yang dalam menilai kekuatan serta mencapai kemenangan.

Sebagaimana diketahui bahwa Primordialsme meruapakan sikap kecintaan yang besar terhadap sesuatu baik agama, etnis, maupun golongan dan kebudayaan.
Nilai Primordial akan sangat positif jika nilai nilai ini digunakan dengan kesadaran bahwa bangsa Indonesia merupakan negara prural dengan multikulturalisme didalamnya yang mesti menjunjung keterbukaan dan sikap saling menghargai diantara banyaknya perbedaan dengan lingkungan sekitar. Namun sebaliknya, kecenderungan primordial akan sangat berbahaya jika sikap ini tanpa didasari kesadaran akan lingkungan multikultural yang harusnya menjunjung tinggi nilai penghargaan dan persatuan. Mengingat
Sulawesi Tenggara beberapa kali mengalami peristiwa gesekan diantra etnis yang menjadi duka mendalam keseluruhan untuk masyarakat Sultra.

Metode dalam berpolitik kadang diartikan sebagai segala bentuk cara dalam mencapai kekuasaan, tanpa melihat dampak kerusakan yang ditimbulkan. Salah satunya dengan blackcampaign yang muncul akibat distorsi pemahaman akan kejujuran dalam berpolitik. Hal ini memberi dampak buruk terhadap penilaian akan aspek kualitas yang cenderung menjadi point terbelakang dan digantikan oleh jiwa persatuan yang didasari oleh fanatisme buta yang melahirkan Sentimen yang justru menunjukan rendahnya kemampuan menelaah atau daya nilai dari sumber daya manusia yang melakukan kegiatan tersebut terhadap lawan politiknya.

Selain itu politik identitas yang berkembang dan mengalami distorsi tanpa kontrol kesadaran masyarakat dapat mengundang konflik atau gesekan diantara kelompok masyarakat, maka penting memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bagaimana memposisikan diri sebagai realisasi nilai nilai demokrasi yang dituangkan dalam keterlibatan kontestasi politik d tahun ini. Perlunya berbagai lembaga terkait yang memiliki tanggung jawab dalam pelaksanaan pemilu untuk memastikan setiap warga negara dijamin keamanannya agar dapat melakukan pemilihan sesuai dengan keinginan hati nuraninya dan kepentingannya serta menjamin kondusifitas masyarakat dalam menghadapi pilkada ini .

Selain itu pihak keamanan tentu menjadi garda terdepan untuk menilai adanya kejanggalan yang berpotensi menimbulkan konflik diantara kelompok.
Menjamin bahwa tidak ada diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.
Narasi ini ditulis karena mulai maraknya issu-issu politik indentitas dan blackcampaign yang tersebar dimedia sosial.

Semoga dalam pilkada tahun ini menjadi pilkada yang damai tanpa konflik kepentingan

*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait