Rechtsvacuum Beleidsregel Juknis KPU Kasus Kewarganegaraan Ganda Bupati Terpilih Sabu Raijua

Oleh; Hidayatullah*

Sepekan ini kita dihebohkan oleh identitas Bupati terpilih Sabu Raijua di NTT. Musababnya, Bupati terpilih ini teridentifikasi mempunyai paspor AS, walaupun juga memiliki KTP elektronik sebagai bukti indentitas WNI. Sebagaimana dilansir detikcom 5 Februari 2021; “Punya paspor AS Orient Riwu Kore menolak disebut WNA: Saya WNI.”

Bacaan Lainnya
 
 
 

Sementara sebelumnya 3 Februari 2021; dilansir Berita Kumparan, KPU RI ikut menyikapi bahwa; “KPU Putuskan Bupati Terpilih WN AS Tetap Sah, Pelantikan Urusan Kemendagri”.

Kasus ini dimulai dari terungkapnya keterangan resmi dari Kedubes AS pada tanggal 1 Pebruari 2021 yang menjawab surat Bawaslu yang dikirim sejak tanggal 10 September 2020 dan tanggal 15 September 2020. Patut disesali jawaban Kedubes AS ini sangat terlambat dengan alasan Kedubes punya prosedur konfirmasi dan memiliki birokrasi untuk menjaga keakuratan data. Tapi walau telat Kedubes AS punya niat baik memberi jawaban kepastian identitas.

Beda dengan birokrasi kita Indonesia, dengan Surat Bawaslu yang pernah ditujukkan ke Direktorat Lalu Lintas Keimigrasian Kemenkumham tentang status kewargaan Orient Riwu Kore, direktorat tersebut tidak memberikan jawaban sampai saat ini. Ini lebih sungguh disesalkan.

Kasus ganda kewarganegaraan ini masih menggantung. Bahkan terang-tegangan Orient Riwu Kore sebagai Bupati terpilih ini tetap saja menolak disebut kewarganegaraan AS. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengulas aspek dwi kewarganegaraan dikaitkan dengan prosedur persyaratan pencalonan di KPU dan dinyatakan lolos memenuhi syarat mencalon sebagai Bupati Sabu Raijua.

Dari aspek hukum, KPU telah menerbitkan beleidsregel sebagai pedoman tekhnis atau sering dikenal sebagai Juknis pencalonan pilkada yakni Keputusan KPU No.394/PL.02.2-Kpt/06/KPU/VIII/2020 tentang Pedoman Teknis Pendaftaran, Penelitian dan Perbaikan Dokumen Persyaratan, Penetapan, Serta Pengundian Nomor Urut Pasangan Calon Dalam Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota. Keberadaan Juknis KPU inilah yang menjadi perunjuk atau pedoman bagi KPU Provinsi/Kota/Kabupaten menyelenggarakan tahapan pencalonan kepala daerah.

Tetapi, setelah penulis mencermati dan mendalami Juknis KPU dimaksud sepertinya ada hal yang kurang lengkap mengatur ketentuan-ketentuan hukum yang predictiable terjadi pada tahapan pencalonan. Dari, isi, muatan dan materi Juknis KPU mengandung ketidakharmonisan substantif dengan UU 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan khususnya dalam pasal 23 dan Pasal 28. Serta Juknis KPU belum linear dengan UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah terakhir dengan UU 23/2006.

Katakanlah UU Adminduk ini sebagai sistem administrasi kependudukan yang menganut single identity (identitas tunggal). Dimulai dari tahun 2019, single identity merupakan program pemerintah yang terfokus untuk semua sektor. KTP-el sebagai wujud sistem identitas tunggal. Seluruh interkasi kewarganegaraan menggunakan KTP-el sebagai indentitas kependudukan. Misal, data usaha, perizinan dan pajak, data kepegawaian , data kewarganegaraan, termaksud dalam Pemilu dan Pilkada, semuanya menggunakan identitas tunggal kependudukan (KTP-el).

Lalu bagaimana dengan UU 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan khususnya dalam pasal 23 dan Pasal 28 tentang dwi kewarganegaraan yang tentunya secara juridis bermasalah. Katakanlah seperti kasus Bupati terpilih tersebut dimana memiliki Paspor AS. Padaha Paspor merupakan sebuah identitas kewarganegaraan. Ketika bepergian keluar negeri yang diakui identitas adalah Paspor atau Paspor elektronik, bukan KTP-el.

Dengan Surat jawaban tertulis Kedubes AS tersebut, maka jelas Bupati Terpilih Orient Riwu Kore ini adalah WN Amerika dan secara hukum yang bersamgkutan telah sah kehilangan kewarga negaraan Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 23 UU 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, disebut WNI kehilangan kewarganegaraan, jika yang bersangkutan:

– memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.

– tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan itu.

Kemudian dalam klausul huruf h pasal yang sama bahwa _”mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya”_

Pertanyaan yang muncul adalah, apakah Bupati terpilih dengan dwi kewarganegaraan ini dapat dilantik ? atau apakah dapat dibatalkan oleh KPU melalu kekuatan putusan sengketa administrasi Bawaslu ? sebab KPU telah menerbitkan keputusan tentang penetapan calon terpilih. Mumpung masih cukup waktu sebelum memasuki tahapan pelantikan/pengambilan sumpah Bupati terpilih dimaksud.

Atau mungkin bila saja ada keraguan, maka penulis mengutip pasal 28 UU 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan yang menyebut seperti berikut.

“Setiap orang yang memperoleh kewargaan negara Republik Indonesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyatakan palsu atau dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai orangnya, oleh instansi yang berwenang, dinyatakan batal kewarganegarannya.”

Norma hukum pasal 28 diatas, memiliki prinsip bahwa UU kewarganegaraan itu secara tegas mengatur, hak Kewarganegaraan yang sudah diperoleh dan walaupun sudah mendaptkan legitimasi atau penetapan. Tetapi jikalau di kemudian hari ditemukan palsu atau dipalsukan, tidak benar atau terjadi kekeliruan, maka kewarganegaraan itu harus dibatalkan pejabat yang berwenang.

Kembali pada soal siapa pejabat yang berwenang membatalkan Bupati terpilih dalam kasus aquo ? KPU punya alasan bahwa dikembalikan kepada kewenangan Mendagri. Sepengetahuan penulis Mendagri tidak memiliki kewenangan hukum apapun membatalkan putusan yang telah ditetapkan KPU terkait proses, hasil maupun problem administrasi pemilihan. Maka secara normatif hukum masih dalam tanggung jawab KPU termaksud Bawaslu ada didalamnya sebagai pihak yang mengawasi, dan juga punya wewenang dalam merekomendasikan atau menetapkan sengketa administrasi Pemilu.

Dalam peran dan eksistensi sebagai state auxiliary organ dalam posisi yang memiliki kendali wewenang penetapan pemenang Pemilihan yang sudah diumumkan, maka penerapan pasal 28 UU 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan dapat dibatalkan sepanjang tahapan pemilihan belum final.

Lagipula ada lembaga Bawaslu dengan kewenangannya yang luas bisa melahirkan rekomendasi. Apalagi dengan bukti klarifikasi kedubes AS atas permintaan Bawaslu sudah terjawab. Lebih kuatnya bawaslu dapat membawa ini kesengketa administrasi pemilihan karena mumpung tahapan belum berkahir dan pelantikan belum dilaksanakan. Lagipula tidak ada batasan waktu yang menghambat Bawaslu dalam menggelar sidang sengketa administrasi memutuskan agar KPU membatalkan Keputusan penetapan pembatalan calon terpilih sebelum calon terpilih tersbut diambil sumpah/janji oleh Mendagri.

Kenapa itu harus dilakukan ? Karena ketentuan persyaratan menjadi Bupati ternyata tidak benar. Negata Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda. Ada pembohongan publik disana dengan menyembunyikan kewarganegaraan AS dan/atau memalsukan dokumen seperti KTP-el yang dijadikan syarat Calon Bupati sehingga memilki identitas ganda kewarganegaraan.

Bawaslu dan KPU bisa menerapkan Ketentuan pasal 28 UU 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, karena lembaga KPU dan Bawaslu dalam hukum administrasi adalah pejabat Tata Usaha Negara yang mengambil keputusan bersifat “beschikking philosophy”. Dimana setiap keputusan dianggap benar dan berlaku. Apabila di kemudian hari ditemukan kekeliruan/kesalahan dalam penetapannya, maka keputusan harus dan dapat diperbaiki. Bunyi klausulnya biasanya “Jika/apabila terdapat kekeliruan dari penetapan/keputusan akan diperbaiki sebagaimana mestinya.”

Koreksi Perbaikan

KPU Daerah yang menetapkan paslonkada yang dilakukan pada tanggal 23 September 2020 lalu memang ketika itu identitas Paslon belum diketahui. Namun kemudian diketahui ada kesalahan, kekeliruan data dan informasi yang telah memiliki kepastian hukum, maka penetapan dapat dibatalkan seperi kasus aquo.

Tentunya terdapat kekurangan substansi yuridis dalam Juknis KPU berkait indentitas ganda kewarganegaraan yang tidak termuat dalam dokumen syarat calon dan pencalonan lainnya. Kekurangan substansi yuridis ini akan nampak jika disandingkan dengan regulasi UU Kewarganegaraan dan UU administrasi kependudukan.

Sehingga, ketika KPU meragukan identitas kewarganeragaraan dan domisli berdasarkan aspirasi atau masukan dari publik terlebih masukan dari Bawaslu, jika terjadi keraguan kewarganegaraan termkasud perubahan identitas calon, UU kewarganegaraan dan UU administrasi kependudukan telah mengantisipasi bahwa Direktorat Keimigrasian Kemenkumham tempat pertama untuk melakukan klarifikasi data kewarganegaraan. Setelahnya ke instansi pencatatan sipil sebagai pihak yang menerbitkan akta pencatatan sipil.

Maka, dapat ditarik pengetahuan hukum bahwa institusi keimigrasian kemenkumham dalam hal identitas paspor, dan pencatatan sipil yang memiliki kewenangan untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan pencatatan identitas penduduk. Tidak dianjurkan ke kedutaan-kedutaan besar negara soal identitas kewarganegaraan.

Begitupula dengan klarifikasi identitas kependudukan tidak dianjurkan ke tempat sekolah pendidikan calon untuk melegitimasi keabsahan identitas seseorang.

Pada titik inilah, penulis urekomendasikan KPU perlu mengharmonisasi beleidsregel yang dibentuknya, agar muatan, isi materi Juknis KPU linear dengan UU yang secara spesialis mengaturnya, UU Kewarganegaraan dan UU Administrasi Kependudukan.

Keyakinan penulis, hasil penetapan calon kepala daerah demikian yang dwi kewarganegaraan tanpa didukung oleh dokumen data paspor, atau setidak-tidaknya pemberitahuan resmi dari institusi keimigrasian kemenkuham, maka hasil validasinya subjektif-diragukan, dan potensial mengandung cacat meteriil.

Dimasa mendatang

Sehingga Juknis KPU secara substansi perlu koreksi, ditata kembali. Khusus berkait “status kewarganegaraan” dan tidak sedikit pula ada “perubahan identitas”, agar kedepan tidak terjadi rechtsvacuum (kekosongan hukum) seperti kasus aquo.

Penulis: *)Praktisi Hukum/mantan Ketua KPU Provinsi Sultra periode 2013-2018

 
*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait