FAO Ajak Masyarakat Sultra Kelola Sagu Jadi Produk Makanan Mendunia

Kendari, (SultraDemoNews)- Melihat besarnya potensi produksi sagu yang ada di Sulawesi Tenggara, Food and Agriculture Organization Of Tge United Nations (FAO) mengajak masyarakat Sultra bisa mengelola sendiri sagu sehingga tak dikuasai oleh orang asing lagi.

Assistant Programme FAOR, Ageng S. Herianto mengungkapkan bahwa selama 2 tahun terakhir, yang menjadi persoalan dalam pengelolaan sagu ialah kualitas bahan baku yang sangat rendah terutama dari segi kehigienisannya.

Bacaan Lainnya

“Melihat kurangannya pengetahuan akan pengelolaan sagu, kami dari FAO memberikan dorongan bagaimana mengelola sagu yang sehat dan higenies, sehingga nanti hasilnya bisa menjadi produk makanan yang berkualitas tinggi dan nikmat dikonsumsi,” tukasnya.

FAO berkomitmen memberikan bantuan dalam hal cara mengelola sagu menjadi makanan yang bervariasi sehingga bisa mendunia.

“Lihat saja, jika sagu yang kita kelola kita kenalkan di daerah Jakarta sana, itu harganya lebih tinggi ketimbang harga sagu yang sudah dikelola disini. Kalau di Kendari kita bisa jual dengan harga 25 ribu, maka di Jakarta kita bisa jual hingga 85 ribu,” tuturnya di salah satu hotel di Kendari dalam acara festival sagu.

Lebih jauh ia menjelaskan, sagu merupakan makanan khas Indonesia yang telah banyak dieksploitasi oleh orang asing khususnya di daerah Papua. Sehingga  penduduk lokal asli Indonesia yang memiliki kekayaan akan produksi makanan tersebut hanya bisa menjadi penonton saja.

“Jumlah sagu menjadi lebih kecil karena telah terbawa ke barat, maka ditengah-tengah ini Kota Kendari menjadi wilayah yang memiliki jumlah sagu cukup besar dan itu harus segera dimanfaatkan. Kami sangat perihatin melihat disini sagu hanya dijual gelondongan saja hingga petani dan penduduk Sultra lainnya tidak bisa menikmatinya. Nah maka dari itu melalui FAO ini, kami ingin penduduk Sultra bisa menikmati sagu hasil daerahnya sendiri serta meningkatkan pendapatan dan lain sebagainya,” ajaknya.

Dengan peningkatan kualitas dari pati sagu, perbedaannya akan sangat terlihat dari pembuatan tradisional dan dari hasil pembuatan FAO.

“Yang tradisional dan FAO itu beda. bisa dibedakan dari baunya kalau sagu aslinya baunya tidak enak tapi dari FAO baunya tidak ada,warnanya juga bersih tidak kecoklatan, dan  pengelolaan FAO jauh lebih efisien. Pengelolaan bisa meningkat hingga 400 Kg perbatang, nah itu semua akibat pemanfaatan sentuhan teknologi,” Tutupnya. (Uci Lestari)

Editor : AK

*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait