Kendari, Sultrademo.co– Koonsorsium Pembaruan Agraria(KPA) Sultra dan sejumlah Akademisi Universitras Muhamadiyah Kendari (UMK) nyatakan tolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan.
Penolakan tersebut dipaparkan melalui Diskusi Publik yang digelar KPA dan Fakultas Hukum UMK, Selasa 17/9/2019 di salah satu Hotel di Kendari. Diskusi publik hari itu sebagai ajang koonsolidasi gerakan di Sulawesi Tenggara dalam menyambut hari Tani Nasional 24 September 2019 mendatang.

Substansinya, sejumlah akademisi Muhammadiyah menolak RUU tersebut dan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI serta presiden untuk membatalkan pengesahan RUU pertanahan.
Dinilai, UU pertanahan seharusnya menjadi basis bangsa dan negara untuk mewujudkan keadilan agraria sebagaimana dicita-citakan Pasal 33 UUD 1945, Tap MPR IX Tahun 2001 tentang pembaruan Agraria dan pengolaan sumber daya Alam ( PA-PSDA) dan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria(UUPA 1960).
Ditinjau lebuh jauh, Indonesia tengah mengalami 5 (Lima) pokok krisis agraria, yakni, ketompangan struktur agraria yang tajam, maraknya konflik agraria sruktural, kerusakan ekologis yang meluas, laju cepat alih funngsi tanah pertanian ke non pertanian, dan kemiskinan akibat sruktur agraria yang menindas.
Dikuatkan Koordinator Wilayah KPA, Torop Rudandi mengatakan, persoalan mendasar yang menjadi bahan diskusi dari RUU Pertanahan karena bertentangan dengan UUPA 1960, masalah Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan(HPL) dan penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN), kontradiksi dengan agenda dan Spirit Reforma Agraria (RA) .
Menurut Torop Rudandi permasalahan sektoralismenya pertanahan dan pendaftaran tanah, pengingkaran terhadap hak masyarakat adat dan bahaya pengadaan dan bank tanah.
” Berdasarkan kedelapan masalah pokok yang ada , perwakilan gerakan masyarakat sipil, gerakan tani masyarakat sipil, gerakan tani masyarakat adat, nelayan, akademisi, pakar agraria, menyimpulkan bahwa RUU pertanahan tidak memenuhi syarat secara ideologis , sosiologis dan bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960,” simpulnya.
Senada dengan Torop Rudandi , Mastri Susilo, Ketua ORI Perwakilan Sultra menilaibmasalah dan ruang lingkup agraria, belum terurai secara jelas dalam penyelesaian konflik agraria.
UU pertanahan, lanjutnya tidak mengatur bagaimana penyelesaian ketika timbul konflik selebih semua kasus hukum, diatur secara perdata.
“Dalam menyelesaikan konflik agraria antara masyarakat adat dan pemerintah tidak mesti selalu tentang persoalan perdata,” perdata.
Reporter : Il Az