Opini, Sultrademo.co –Proses merupakan rangkaian langkah-langkah, kejadian, atau perubahan yang terhubung dan berurutan, memungkinkan perpindahan dari satu keadaan ke keadaan lainnya. Dalam konteks kehidupan mahasiswa menuju strata 1, kata “proses” menjadi fokus utama yang ditekankan oleh senior kepada juniornya. Dalam lingkungan perkuliahan, proses tersebut tercermin melalui kehadiran di setiap kelas, pelaksanaan praktikum, penyelesaian tugas, partisipasi dalam ujian tengah semester, dan menghadapi ujian akhir semester. Proses ini berlangsung secara terus-menerus hingga mencapai tahap ujian (proposal, hasil, dan skripsi). Di dalam organisasi, proses serupa terjadi dengan mengikuti basic training (bastra), mendalami materi melalui bacaan intensif, mengikuti kajian, mengikuti intermediate training, dan kemudian berperan sebagai pemateri dalam kegiatan lintas komisariat atau cabang. Jika merasa siap, seseorang dapat melanjutkan ke jenjang perkaderan advance training. Ini adalah gambaran singkat dari proses yang berlangsung di kampus, baik dalam ranah akademis maupun organisasional.
Kontekstualnya, proses tergambarkan seperti di atas dan secara tekstualnya terdapat pada sebuah novel yang secara halus menggambarkan makna tentang proses. Novel yang dikarang oleh Eiji Yoshikawa berjudul Musashi. Kisah perjalanan hidup Takezo, yang bertarung melalui tantangan demi menjadi seorang samurai terkemuka di Jepang. Dimulai dari kekalahan dalam pertempuran pertamanya, penolakan di desa halamannya karena dianggap sebagai pembuat onar sehingga ditentang di lingkungannya, dan diikat pada pohon selama berhari-hari oleh seorang pendeta bernama Takuan yang hampir merenggut nyawanya dengan tali yang ketat. Selanjutnya, Takuan membawanya ke keluarga Shimmen dan memenjarakannya di salah satu kamar istana keluarga Shimmen selama tiga tahun. Selama masa penahanan itu, Takezo sibuk dengan membaca buku, satu-satunya yang diberikan oleh Takuan. Di sinilah Takezo memperdalam pengetahuannya. Setelah melalui proses tiga tahun tersebut, Takezo dilepaskan dan mengubah namanya menjadi Musashi sebagai lambang kebangkitan dan pencerahannya melalui pengetahuan.
Pengalaman yang menyakitkan di desa halamannya dan masa penjara selama tiga tahun berteman buku, telah membawa kesadaran dan kedewasaan pada dirinya. Dari situ, dia mampu menguasai dirinya yang sebelumnya sering bereaksi secara impulsif. Setelah itu, dia menghabiskan waktu dengan menantang para samurai tersohor, dan berhasil mengalahkan mereka satu per satu. Akibatnya, Musashi berhasil mencapai posisi sebagai seorang samurai terkemuka di Jepang.
Musashi melambangkan proses yang mengintegrasikan teori dan praktik. Ini mengindikasikan bahwa pengetahuan yang substansial dan bermanfaat timbul dari gabungan antara konsep teoritis dan pengalaman. Teori dan pengalaman berperan sebagai instrumen analisis atau dengan katalain sebagai pisau analisis. Seperti pisau yang tajam, pengetahuan membantu kita menyelidiki realitas yang kompleks, memungkinkan kita menemukan hal-hal detail, pola, dan membaca hal-hal terselubung, serta pengetahuan sebagai dasar dalam merencanakan tindakan dengan bijak. Namun, untuk mempertajam pisau analisis ini, diperlukan pengetahuan yang diperoleh baik dari buku bacaan (teori) maupun pengalaman langsung. Konsep ini ditegaskan oleh Immanuel Kant (dalam buku karya Budi Hardiman yang berjudul “Ruang Publik: Melacak ‘Partisipasi Demokratis’ dari Polis sampai Cyberspace” tahun 2010), yang menyatakan bahwa “Pengalaman tanpa teori adalah buta, tetapi teori tanpa pengalaman hanyalah permainan intelektual.”
Kadang-kadang, proses yang dijelaskan di atas sulit dimengerti sebagai tahap pembentukan karena setiap arahan tidak pernah dijelaskan maksud dan tujuannya. Sebagai contoh, dalam organisasi kultural, kita sering dihadapkan pada berbagai arahan dari mereka yang lebih senior, tanpa penjelasan yang ringkas maupun lengkap. Pendekatan ini sengaja dilakukan untuk mendorong individu tersebut belajar berpikir secara kritis dan mandiri, sambil menilai loyalitasnya terhadap arahan yang diberikan. Jika berhasil, maka yang memberikan arahan akan bertanggung jawab atas proses yang dialami oleh penerima arahan. Namun, pendekatan ini seringkali disalahgunakan oleh beberapa senior yang tidak bertanggung jawab, dengan menyisipkan kepentingan pribadi mereka dalam konsep “proses”, padahal hanya untuk memanfaatkan demi kepentingan pribadi. Hal ini menciptakan stigma negatif yang meredupkan semangat untuk berproses.
Meskipun demikian, hal positifnya adalah ketika kita mendapat seorang senior yang dapat dianggap sebagai mentor untuk memberikan arahan dalam berproses. Dalam mengalami proses tersebut, seseorang akan mencapai hasil terbaik jika melalui tahap demi tahap. Kendatipun dalam proses tersebut sering kali menyulut emosi atau keinginan untuk memberontak (kurangnya ketabahan atau arahan yang diberikan dianggap irasional). Hal ini dianggap wajar karena perbedaan taraf pengetahuan antara individu dan mentor untuk memahami maksud dan tujuan dari arahan tersebut, seperti yang dialami Takezo yang awalnya memberontak terhadap Pendeta Takuan bahkan memiliki niat untuk membunuhnya karena tidak mengerti maksud dan tujuan Takuan, namun setelah mengalami proses penahanan selama 3 tahun dan menghabiskan waktu dengan membaca serta kontemplasi, Takezo menyadari bahwa Takuanlah yang menyelamatkan hidupnya dan membantunya menjadi seorang Samurai Ulung. Oleh karena itu, kita membutuhkan mentor yang bertanggung jawab seperti Takuan, atau di Indonesia seperti H.O.S. Cokrominoto yang menjadi mentor dari Ir. Sukarno.
Seorang mentor memberikan bimbingan dalam aspek-aspek yang membantu membentuk karakter seseorang. Proses pembentukan yang dialami harus dijalani dengan ketabahan. Dengan demikian, hal seperti ini berperan dalam pembentukan sikap seseorang. Mirip dengan proses penempaan baja, yang dikenal dengan kekuatan dan daya tahannya, yang dicapai melalui tahapan panas dimana bijih besi dipanaskan hingga mencapai suhu tinggi, lalu dipalu dan dibentuk secara berulang untuk menghilangkan kotoran dan meningkatkan kekuatan strukturnya. Proses ini membutuhkan waktu, kesabaran, dan keterampilan yang tinggi. Pengalaman yang positif dan negatif memberikan pembelajaran yang berharga untuk kemajuan dan pertumbuhan kita, seperti proses pemurnian dalam penempaan baja yang memisahkan dari kotoran. Pengalaman negatif juga memisahkan kita dari lingkungan yang tidak produktif. Oleh karena itu, istilah “manusia bermental baja” menjadi simbol kekuatan individu. Konsep ini juga ditegaskan oleh Ibnu Khaldun dalam bukunya berjudul “Muqadimah” yang menyatakan bahwa zaman yang penuh dengan tantangan cenderung menghasilkan individu yang kuat, sementara zaman yang mudah cenderung menghasilkan individu yang lemah.
Individu yang kuat tercermin dalam tren populer saat ini, yang dikenal dengan konsep “Korea” Ala Bambang Pacul. Konsep ini mengacu pada sikap mentalitas menggambarkan individu dari lapisan sosial rendah yang memiliki ambisi besar untuk meraih kesuksesan. Dengan semangat perjuangan, mereka berusaha mengatasi keterbatasan ekonomi dan mencapai kemajuan. Akibatnya, istilah ini menjadi populer di kalangan pemuda, bahkan kini telah dibukukan dengan judul “Mentalitas Korea: Jalan Ksatria Komandan Bambang Pacul” oleh Puthut EA.
Mentalitas “Korea” menunjukkan individu yang memulai proses dari bawah. Mereka yang mengalami proses dari bawah dan secara perlahan mencapai posisi tengah hingga akhirnya meraih posisi atas, akan memahami cara menyikapi dan berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat. Hal ini ditegaskan oleh Aristoteles dalam karyanya yang berjudul “Politik,” bahwa individu yang berasal dari lapisan sosial yang rendah dan berhasil mencapai posisi tengah lalu atas akan memiliki pemahaman yang mendalam tentang kondisi berbagai kelompok sosial saat mereka memimpin. Melalui proses ini, seseorang mengembangkan pengetahuan dan pengalaman yang membentuk cara berpikirnya. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas jumlahnya sangatlah sedikit karena prosesnya penuh tantangan dan tidak mudah banyak yang terseleksi oleh alam, seperti berlian yang jumlahnya langka karena telah melewati proses penempaan yang panjang, sehingga menjadi berharga dan hanya dapat dipotong oleh berlian lain. Konsep ini dijelaskan dalam buku “Nalar yang Memberontak” yang ditulis oleh Alan Woods dan Ted pada tahun 2018.