Negara Tidak Boleh Kalah Oleh Premanisme Berkedok Ormas

Ketgam : Dr. bachtiar

Oleh: Dr. Bachtiar (Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM, Tim Asistensi Bidang Hukum Kapolri)

Kendari, Sultrademo.co – Belakangan ini publik kembali dikejutkan oleh maraknya aksi premanisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang berlindung di balik kedok organisasi kemasyarakatan (Ormas). Kasus pembakaran mobil polisi di Depok, penyegelan paksa pabrik di Bekasi, serta sejumlah praktik pemerasan, pungutan liar, atau aksi yang merugikan dunia usaha dan menghambat investasi, menjadi bukti nyata bahwa premanisme telah bermetamorfosis menjadi ancaman nyata terhadap ketertiban umum dan wibawa negara.

Bacaan Lainnya

Lebih menyedihkan lagi, ormas-ormas ini sering kali tak tersentuh hukum karena memiliki kedekatan dengan aktor-aktor politik atau bahkan aparat keamanan. Fenomena ini bukan hanya merusak wajah hukum dan demokrasi, tetapi juga menantang eksistensi negara sebagai pemegang otoritas tunggal atas kekuasaan yang sah. Situasi ini pada akhirnya menimbulkan pertanyaan mendasar: benarkah negara telah kalah oleh preman?

Ormas atau Ormas Preman?

Secara konstitusional, kebebasan berserikat dan berkumpul dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dalam kerangka itulah, negara memberikan payung hukum bagi Ormas melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017. Namun, jaminan ini bukanlah hak absolut tanpa batas. Negara juga diberi mandat untuk membatasi kebebasan tersebut jika terbukti digunakan untuk merusak ketertiban umum, keamanan nasional, atau nilai-nilai demokrasi. Pasal 59 ayat (3) huruf c secara eksplisit melarang Ormas melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial. Dengan kata lain, ketika sebuah Ormas terlibat dalam pemerasan, penganiayaan, sabotase terhadap proyek strategis nasional, atau aksi-aksi premanisme lainnya, otomatis Ormas tersebut telah menyalahi status hukumnya dan beralih menjadi entitas kriminal yang menyaru sebagai representasi masyarakat sipil.

Namun, yang terjadi di lapangan sangat ironis. Banyak Ormas yang terang-terangan melakukan pelanggaran hukum justru memperoleh keistimewaan. Mereka mendapatkan “jatah proyek pengamanan”, memperoleh akses terhadap proyek pemerintah, dan bahkan sering kali dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan resmi kenegaraan, baik oleh pejabat daerah maupun aparat keamanan. Situasi ini menciptakan celah abu-abu antara legitimasi dan kekerasan—mereka bukan negara, tetapi diperlakukan sebagai mitra negara; mereka bukan aparat, tapi bertindak seolah-olah memiliki kewenangan.

Fenomena ini menandai bergesernya fungsi Ormas dari wadah aspirasi warga menjadi alat kekuasaan informal. Premanisme yang berkedok Ormas tidak hanya mengancam ketertiban umum, tetapi juga mendistorsi tatanan hukum dan demokrasi. Mereka menjalankan pengamanan liar, melakukan pungutan liar kepada pelaku usaha, menekan aparat desa dan birokrasi, bahkan ikut bermain dalam proyek-proyek infrastruktur dengan menggunakan kekuatan fisik sebagai modal tawar.

Nama-nama seperti Hercules dengan GRIB-nya, dan ormas-ormas lain yang kerap muncul dalam pemberitaan, hanyalah puncak dari gunung es ratusan kelompok serupa yang menjelma menjadi “negara dalam negara”. Mereka hadir dengan atribut legal, namun operasionalnya bersifat kekerasan. Mereka kerap menggunakan bendera Ormas sebagai legitimasi tindakan ilegal. Dan yang lebih mengkhawatirkan, negara tampak tak berdaya, atau bahkan secara diam-diam berkompromi. Lebih parah lagi, sebagian Ormas preman ini menjadi bagian dari strategi politik elektoral, digunakan oleh calon kepala daerah atau elit partai sebagai “pasukan lapangan” dalam kampanye atau untuk menekan lawan politik. Hubungan patron-klien ini menciptakan jaringan yang sulit dibongkar karena Ormas mendapatkan perlindungan politik, sementara politikus mendapatkan massa dan intimidasi sebagai alat tawar.

Lebih dari sekadar ancaman fisik, premanisme yang dibungkus baju Ormas adalah kanker bagi demokrasi. Ketika Ormas menggunakan kekerasan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan politik, maka demokrasi kehilangan jiwanya. Aparat menjadi ragu menindak karena khawatir akan tekanan massa, elite politik membiarkan karena mendapatkan dukungan, dan rakyat menjadi takut bersuara karena merasa tidak dilindungi negara. Dalam suasana seperti ini, kekuasaan negara tumpul, hukum menjadi negosiasi, dan ketertiban disandera oleh aktor-aktor informal yang menggunakan kekerasan sebagai instrumen pengaruh.

Negara Harus Tegas

Situasi ini tidak hanya berbahaya, tetapi juga mencerminkan kegagalan negara dalam menegakkan supremasi hukum. Pemerintah memang membentuk Satuan Tugas (Satgas) penanggulangan premanisme. Namun, pembentukan Satgas semata tanpa langkah hukum yang konkret dan konsisten hanya akan menjadi slogan tanpa nyawa. Selama negara tidak berani mencabut legalitas Ormas yang terbukti melanggar hukum, membekukan aktivitasnya, dan memproses pidana pelakunya, maka Satgas itu tidak lebih dari simbol ketidakberdayaan. Karena itu, diperlukan keberanian struktural untuk memutus mata rantai antara kekuasaan dan Ormas preman, serta menegakkan supremasi hukum secara konsisten.

Jika hal ini terus dibiarkan, masyarakat akan mengalami “normalisasi kekerasan” yang dibungkus legalitas. Warga yang semestinya dilindungi negara justru dipaksa tunduk kepada kekuatan Ormas preman. Ketika hukum tunduk pada kekerasan, yang lahir bukanlah keadilan, melainkan ketakutan. Dan ketika negara memilih diam atau berkompromi, rakyatlah yang menjadi korban. Oleh karena itu, negara tidak boleh kalah dengan premanisme dan harus hadir secara tegas. Demokrasi tidak boleh disandera oleh kekuatan liar yang membungkus dirinya dengan identitas sosial dan nasionalisme semu. Tidak boleh ada lagi toleransi terhadap Ormas yang menyalahgunakan kebebasan berserikat dan berkumpul untuk kepentingan kekerasan. Pemerintah bisa menggunakan landasan hukum yang sudah ada, termasuk pembubaran Ormas apabila terbukti melanggar ketertiban umum dan menimbulkan keresahan masyarakat.

Negara tidak boleh memberi ruang kepada kekuasaan jalanan. Ketika negara tunduk pada kekuatan preman berkedok Ormas, yang hilang bukan hanya rasa aman, tetapi juga wibawa hukum dan martabat demokrasi. Rakyat tidak butuh negara hanya sekadar membuat Satgas, tetapi negara yang mampu bertindak tegas tanpa kompromi terhadap siapa pun yang merusak ketertiban dan hukum, sekalipun mereka berseragam Ormas. Jika negara terus bersikap permisif, rakyat berhak mempertanyakan: siapakah sesungguhnya yang berkuasa di republik ini—pemerintah yang sah atau premanisme yang dilegalkan?

Ketegasan Polri Diuji

Polri sebagai institusi negara yang memiliki kewenangan penuh dalam penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban umum memegang peran sentral dalam penanganan premanisme. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menegaskan bahwa tugas utama Polri adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan pelayanan. Dalam konteks ini, segala bentuk aksi premanisme, baik individu maupun kolektif, merupakan tantangan langsung terhadap kewibawaan Polri.

Dalam menghadapi premanisme, penindakan hukum yang tegas memang penting, namun tidak cukup. Polri perlu menerapkan pendekatan yang lebih menyeluruh. Pertama, melakukan pemetaan intelijen terhadap jaringan kekuatan premanisme, termasuk koneksi politik dan sumber pendanaannya. Kedua, menggandeng instansi lain seperti PPATK, KPK, dan BPK untuk mengusut dugaan aliran dana ilegal yang menghidupi kelompok-kelompok ini. Ketiga, meningkatkan literasi hukum dan keberanian masyarakat untuk melaporkan setiap aktivitas pemerasan dan intimidasi sebagai kesadaran kolektif warga.

Salah satu akar berkembangnya premanisme adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap negara. Banyak pelaku usaha memilih “membayar preman” karena menganggap negara tidak mampu memberikan perlindungan. Di sinilah Polri harus hadir sebagai kekuatan yang tidak hanya represif, tetapi juga protektif. Keadilan tidak boleh diperjualbelikan, dan rasa aman tidak boleh menjadi komoditas kelompok liar.

Sudah saatnya negara melalui Polri mengakhiri toleransi terhadap kekuatan-kekuatan liar yang hidup di antara legalitas dan kriminalitas. Harus ada langkah nyata: pembekuan badan hukum atau izin Ormas yang melanggar hukum, penegakan pidana secara tegas terhadap pelaku kekerasan dan pemerasan, serta penghentian segala bentuk konsesi politik dan proyek terhadap kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan sebagai alat negosiasi sosial.

Polri harus berdiri tegak dan bebas dari tekanan politik. Penindakan tidak cukup dilakukan secara sporadis atau simbolik. Diperlukan operasi berskala nasional yang terencana, terkoordinasi, dan didukung keberanian moral untuk memutus mata rantai premanisme sampai ke akar, yaitu jejaring patronase dan ekonomi ilegal yang menopang kekuatan mereka.

Kita tidak boleh membiarkan hukum tunduk pada kekerasan. Kita tidak boleh membiarkan Ormas menjadi alat premanisme. Negara tidak boleh kalah oleh preman—tidak di jalanan, tidak di kantor pemerintah, tidak pula di balik bendera Ormas. Negara harus hadir, dan Polri harus menjadi garda terdepan untuk memastikan bahwa hanya hukum yang berdaulat di republik ini.

*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait