Oleh: A. Muhammad Hasgar A.S., SH., MH., CMLC., CCD., CIRP
(Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Praktisi/Pengamat Hukum Pertambangan)
Sulawesi Tenggara (Sultra) adalah wajah lain Indonesia sebagai negeri kaya sumber daya alam. Berlimpahnya komoditas strategis seperti nikel, emas, dan aspal menempatkan provinsi ini di garis depan dalam strategi hilirisasi pertambangan sekaligus bagian penting dari agenda transisi energi global. Namun, di balik geliat investasi yang terus meningkat, Sultra menyimpan problem klasik yang tak kunjung tuntas: rendahnya kepatuhan hukum pelaku usaha pertambangan.
Per Februari 2025, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat terdapat 63 perusahaan tambang di Sultra yang telah mengantongi persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Kabupaten Konawe Utara, Konawe Selatan, Kolaka, dan Bombana menjadi episentrum kegiatan pertambangan, utamanya nikel. Cadangan nikel di Konawe Utara bahkan mencapai 498 juta ton dengan kadar 1,36%, sebuah potensi luar biasa yang menjadi magnet investasi. Tak hanya itu, Sultra juga menjadi basis 10 Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor tambang, dengan nilai investasi menembus angka Rp45 triliun.
Namun, potensi besar ini belum sepenuhnya terkelola dengan tata kelola hukum yang baik. Banyak perusahaan tambang masih abai terhadap kewajiban penting seperti reklamasi pascatambang, penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), hingga pembangunan fasilitas pengolahan di dalam negeri (smelter). Alih-alih mendongkrak perekonomian lokal, sebagian investasi justru tersendat akibat disharmoni regulasi dan lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah.
Di sisi lain, peran pemerintah daerah dalam memastikan kepatuhan hukum sektor pertambangan masih lemah. Padahal, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 telah memberikan mandat kepada daerah untuk turut mengawasi dan memastikan kontribusi nyata industri tambang bagi masyarakat lokal. Sayangnya, di berbagai wilayah, pemerintah daerah kerap kali kalah langkah dari korporasi besar yang lihai memanfaatkan kelonggaran regulasi.
Dalam konteks kebutuhan investasi nasional, pemerintah pusat dan daerah seyogianya tidak hanya berfokus pada angka investasi semata, tetapi juga menjadikan kepatuhan hukum sebagai prasyarat utama. Kepatuhan hukum bukan sekadar formalitas administrasi, melainkan pondasi bagi keberlanjutan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial. Jika pelanggaran dibiarkan, dampaknya tidak hanya kerusakan lingkungan, tetapi juga tergerusnya kepercayaan publik dan merosotnya kredibilitas Indonesia di mata investor global.
Belajar dari kondisi di Sultra, penguatan pengawasan hukum berbasis kolaborasi antara pusat, daerah, dan masyarakat sipil menjadi keniscayaan. Pemerintah harus memperkuat instrumen pengawasan, menerapkan sanksi tegas bagi pelanggar, serta membuka akses transparansi data pertambangan kepada publik. Langkah-langkah ini penting agar investasi tidak sekadar menjadi alat eksploitasi kekayaan alam, tetapi benar-benar berkontribusi untuk pembangunan yang adil dan berkelanjutan.
Sultra bukan sekadar tambang nikel atau emas, melainkan harus menjadi tambang kemakmuran bagi generasi mendatang. Kepatuhan hukum adalah jalan yang tak bisa ditawar menuju cita-cita tersebut.







