PILKADA BUKANLAH REZIM PEMILU; “Memahami Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019”

Oleh: Hidayatullah. SH*

Kalau kita mendalami secara seksama putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal paham Pemilu Lokal dan Pemilu Nasional yg dimaksud dalam putusan No. 55/PUU-XVII/2019 ternyata masih banyak pihak keliru memaknai putusan tersebut. Dimana masih saja ada yang memahami putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 menganggap bahwa Pilkada masuk rezim Pemilu. Padahal kalau dicermati Putusan MK No. 48/PUU- XVII/2019 dan Putusan MK No. 55/PUU- XVII/2019 dimana MK tidak menanggapi lagi teori pemilahan rezim yang dimulai oleh MK dalam Putusan No. 97/PUU- XI/2013. MK dalam Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 tidak ingin tejebak dengan alur pemikiran pemisahan rezim lagi dan justu menawarkan pemikiran baru yakni keserentakan Pemilu yakni Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal (yang ada Pilkada didalamnya). MK tetap konsisten dengan yurisprudensi putusan sebelumnya bahwa Pilkada bukanlah Rezim Pemilu.

Bacaan Lainnya
 
 
 

Jadi apakah Pilkada bisa digabung kedalam keserentakan Pemilu ? bisa dan boleh saja seperti dalam format Pemilu lokal dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 yang digabung dengan Pemilu DPRD. Namun bila tanpa digabung dengan Pemilu DPRD maka tetap saja Pilkada dalam penamaan Pemilu lokal yang bukan bagian dari Rezim Pemilu sesuai Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 dan UU Pilkada. Jadi tetap saja Pilkada bukanlah rezim Pemilu.

MK tidak pernah mengoreksi putusan sebelumnya bahwa Pilkada adala rezim Pemilu. Kalau MK mengoreksi putusannya berarti MK pernah salah dalam menafsir UU terhadap UUD 45. Ini bahaya memahami begini karena kalau MK pernah salah menafsir UU. Lalu bagaimana terhadap UU yang sudah dikoreksi sebelumnya apalagi putusan MK bersifat erga omnes yang berlaku seketika dengan putusannya bersifat final and binding.

Maka sebenarnya putusan MK 55/2019 itu bukanlah putusan mengikat secara hukum. Karena putusan MK itu justru menolak gugatan pemohon (Perludem). Hanya saja putusan MK dimaksud memberikan landasan dan arahan tentang keserentakan Pemilu baik nasional maupun lokal untuk menjadi pedoman para pembentuk UU dalam hal ini DPR bersama Pemerintah.

Pemilu lokal yang maksud pertimbangan MK itu adalah memasukkan Pilkada. Jadi MK hanya berpendapat bahwa MK tidak lagi terjebak dalam teori pemilahan rezim Pemilu karena telah ada yurisprudensi sebelumnya. Jadi Pemilu lokal hanyalah sebuah penamaan untuk keserentakan dalam enam varian sebagaimana pandangan MK pada putusan 55/2019. Tetapi bukan menganulir putusan MK 97/2013 bahwa Pilkada bukanlah rezim Pemilu dan tetap bagian rezim Pemda. Hanya saja memang ada soal secara das sein dimana faktanya penyelenggaraan Pilkada juga dilaksanakan oleh KPU, Bawaslu dan DKPP yang merupakan Penyelengara Pemilu.

Inilah yang menjadi salah tafsir dalam pemahaman varian-varian Pemilu yang dimaksud. Padahal MK hanyalah berpendapat untuk menjadi landasan dan pijakan yang tidak bersifat memerintah pembuat/pembentuk UU. Putusan MK 55/2019 tidak merubah apapun baik materi, isi, pasal dari UU Pemilu maupun Pilkada sehingga tidak ada penambahan atau pengurangan norma UU Pemilu apalagi Pilkada.

Jadi bacaan terhadap putusan MK 55/2019 tidak bermaksud menyatukan UU Pemilu dan Pilkada menjadi satu UU tetapi maksud putusan itu adalah soal pemilahan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal (yang didalamnya boleh ada Pilkada) dalam rangka untuk menertibkan keserentakan penyelenggaran Pemilu dan Pilkada kita.

Kalau mencermati maksud putusan MK justru sangat hati-hati dimana varian keserentakan Pemilu disampaikan dalam “pendapat” MK bukan dalam “amar putusan”. Karena sifatnya pandangan maka posisi MK hanyalah berpendapat untuk menawarkan 6 varian sebagai landasan bukan sebuah keputusan serta merta membatalkan pasal atau menambah norma baru dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Apalagi mengaitkan bahwa Pilkada akan diatur dalam UU Pemilu. Justru ini tidak sesuai original intent dari sumber hukum kita bahwa Pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota pada pasal 18 UUD 1945 bukanlah Pemilu tetapi sifatnya pemilihan. Tafsirnya sudah selesai pada putusan MK sebelumnya.

Maka kewenangan dikembalikan kepada DPR bersama Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan membentuk UU. Khusus posisi DPR adalah positif legislative dan MK bersifat negatif legislative. MK tidak dpaat memperluas makna Pemilu seperti diatur Pasal 22E UUD 1945 menjadi sama dengan makna Pasal 18 UUD 1945 dimana Pilkada yang masuk rezim pemerintahan daerah. Kalau ini disamakan maka inkonstitusional.

Dalam putusan MK lainnya Juga telah memutuskan bahwa Pemilu menurut Pasal 22E UUD 1945 harus dimaknai secara limitatif untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan lima tahun sekali. Makna ini yang dipegang teguh dalam putusan MK lainnya No. 13/PUU/XI/2013. Dengan begitu, jika memasukkan Pilkada menjadi bagian dari Pemilu maka bersifat inkonstitusional. Padahal telah menjadi pendirian MK tidak dapat menambah atau mengurangi norma konstitusi yang tertulis dalam UUD 1945. MK pula memiliki kewenangan bukan untuk berusaha menemukan maksud pembentuk UU, tetapi menemukan makna yang dikehendaki norma konstitusi guna menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapi masa kini dan masa depan.

Kendari, 08 Januari 2021

*Penulis adalah Ketua KPU Provinsi Sulawesi Tenggara Periode 2013-2018.

 
*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait