MENEGUHKAN KEADILAN PILKADA MELALUI PUTUSAN NOMOR 104/PUU-XXIII/2025

Dr. Bachtiar – Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM

Oleh: Dr. Bachtiar

Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM

Bacaan Lainnya

Satu lagi putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah fondasi penting dalam desain pengawasan pemilihan kepala daerah. Melalui Putusan Nomor 104/PUU-XXIII/2025, frasa “rekomendasi” dalam Pasal 139 Undang-Undang Pilkada dimaknai sebagai “putusan” yang dihasilkan dari mekanisme penanganan pelanggaran administratif Pilkada. Putusan Mahkamah ini tidak lagi memposisikan hasil pengawasan Bawaslu sekadar nasihat moral yang bergantung pada kebijaksanaan KPU atas penilaiannya terhadap “rekomendasi” yang disampaikan oleh Bawaslu.

Putusan ini muncul dari proses ijtihad konstitusional yang dilakukan oleh mahasiswa Indonesia, karena merasa dirugikan oleh tata cara pengawasan Pilkada yang diatur dalam UU Pilkada. Pasal 139 UU Pilkada menempatkan Bawaslu dalam menangani pelanggaran administratif hanya sebagai pihak yang memberikan rekomendasi, yang kemudian keabsahannya diuji kembali oleh KPU. 

Fungsi penegak hukum pemilu yang diperankan Bawaslu mengalami reduksi, karena diambil alih oleh KPU yang menurut konsepnya didesain sebagai penyelenggara teknis. Di tengah meningkatnya partisipasi publik terhadap keberlangsungan demokrasi elektoral di Indonesia, ijtihad konstitusional yang dilakukan para pemilih muda ini pantas dan layak diapresiasi.

Dari Rekomendasi Ke Putusan

Selama ini ketentuan Pasal 140 ayat (1) UU Pilkada memberikan ruang bagi KPU untuk menafsirkan ulang atau bahkan mengabaikan rekomendasi Bawaslu terkait pelanggaran administratif pemilihan. Bahkan kerap terjadi perseteruan di antara kedua organ penyelenggara pemilu ini dalam memaknai kasus konkrit yang terjadi di lapangan. Bawaslu berdasarkan Pasal 139 UU Pilkada memang diberi wewenang untuk mengkaji temuan atau laporan dugaan pelanggaran, tetapi hasil akhirnya hanya berupa rekomendasi yang kerap tidak ditindaklanjuti secara memadai.

Hal ini jelas terlihat dari berbagai pemilihan, termasuk pemilihan 2024. KPU tidak selalu melaksanakan rekomendasi Bawaslu tentang pelanggaran prosedural atau pemungutan dan/atau penghitungan suara ulang. Kondisi ini tentu mengancam kredibilitas kelembagaan dan kepercayaan publik terhadap Bawaslu. Banyak dari rekomendasi tersebut pada akhirnya bermuara di Mahkamah konstitusi melalui mekanisme penyelesaian sengketa hasil. Ketidakpastian ini menunjukkan kelemahan kekuatan hukum produk hasil pengawasan Bawaslu, sekaligus meningkatkan probabilitas pelanggaran yang tidak dihukum.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menegaskan bahwa tidak seharusnya ada dikotomi antara penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada, baik dalam hal kewenangan kelembagaan maupun desain penegakan hukum. Sejak Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022, Mahkamah menegaskan tidak lagi terdapat perbedaan antara rezim Pemilu dengan rezim Pilkada. Dengan tidak ada perbedaan rezim tersebut secara konstitusional semua norma dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 harus diperlakukan sama dalam penyelenggaraan Pemilu. Oleh karena itu, pemberian kewenangan ajudikatif kepada Bawaslu dalam rezim Pemilu semestinya juga berlaku dalam rezim Pilkada. Hal demikian perlu dilakukan agar terwujud kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilihan, baik Pemilu maupun Pilkada.

Mahkamah juga menegaskan bahwa perbedaan penanganan pelanggaran antara Pemilu yang diatur dalam Pasal 460 sampai dengan Pasal 465 UU 7/2017 dengan Pilkada yang diatur dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU 1/2015, menyebabkan kekeliruan dalam memaknai kewenangan masing-masing lembaga penyelenggara pemilu. Padahal dalam desain hukum pemilu, KPU dan Bawaslu secara struktur kelembagaan adalah sama-sama sebagai penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, disparitas penanganan pelanggaran administratif antara Pemilu dan Pilkada harus diakhiri demi meneguhkan prinsip integritas dan keadilan pemilu yang semestinya menjadi spirit bagi Bawaslu dan KPU dalam penyelenggaraan pemilihan.

Pilihan rekonstruksi sistem pengawasan pemilihan adalah konsekuensi langsung dari Putusan Mahkamah Konstitusi ini. Setelah Mahkamah menafsirkan “rekomendasi” sebagai “putusan”, KPU tidak lagi dalam kapasitas menafsir ulang kembali putusan yang dibuat oleh Bawaslu. Ini berarti bahwa Bawaslu tidak lagi sekadar pemberi rekomendasi tetapi juga pemberi putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah ini tentu menjadi spirit dalam memaknai urgensi penguatan kelembagaan Bawaslu, sekaligus pengingat bahwa hukum pemilu harus dipatuhi oleh semua pihak sebagai bentuk komitmen terhadap integritas dan keadilan pemilu.

Melalui putusan ini, posisi Bawaslu sebagai lembaga penegak keadilan pemilu diperkuat. Kepastian hukum terkait penanganan hasil pengawasan Bawaslu lebih terjamin karena produknya sudah berupa putusan, bukan lagi sekadar rekomendasi. John Rawls pernah mengingatkan bahwa “keadilan hanya mungkin terwujud apabila prosedur dijalankan secara adil dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan”. Dalam konteks ini, adagium hukum bahwa “tidak ada keadilan tanpa kepastian hukum. Tidak ada pemilu jujur tanpa putusan yang dihormati” menjadi bermakna, sekaligus konsep pembenar pertimbangan Mahkamah tersebut.

Meski demikian, putusan ini tidak bersifat retroaktif, melainkan prospektif, dimulai setelah Pilkada 2024 selesai, sehingga tidak mengubah hasil atau proses Pilkada yang telah berjalan, termasuk PSU yang sedang dilaksanakan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Nomor 104/PUU-XXIII/2025 ini tidak diterapkan untuk Pilkada 2024 yang sedang berjalan (termasuk PSU) sebagai disebutkan dalam Pertimbangan Mahkamah Angka [3.15] yang berbunyi: “…dan tidak diberlakukan untuk Pilkada Tahun 2024 yang saat ini masih berjalan“. 

Kalimat “Tidak Berlaku untuk Pilkada 2024 yang Sedang Berjalan” adalah batasan implementatif dari putusan Mahkamah Konstitusi. Artinya, putusan ini tidak berlaku surut terhadap tahapan Pilkada 2024 yang sudah berlangsung saat putusan diucapkan, termasuk: PSU yang sedang berlangsung, dan/atau proses penyelesaian pelanggaran yang sedang berjalan berdasarkan aturan lama. Pasal 139 dan 140 UU 1/2015 tetap dapat digunakan dalam redaksi aslinya (rekomendasi) selama tahapan Pilkada 2024 belum selesai saat putusan diucapkan. Dengan demikian, PSU yang berlangsung di Barito Utara, Papua, Boven Digoel, Bangka, dan daerah lain yang pelaksanaan atau penanganan pelanggarannya masih berdasarkan UU 1/2015, masih menggunakan skema lama, yaitu “rekomendasi”.

Menata Ulang Desain Regulasi

Putusan Mahkamah Konstitusi ini seharusnya tidak dianggap sebagai akhir dari segalanya, melainkah sebagai langkah awal untuk memperbaiki semua dasar pengaturan yang berkaitan dengan pemilihan di Indonesia. Penafsiran Mahkamah yang menilai “rekomendasi” Bawaslu sebagai “putusan” yang harus dipatuhi dan memerlukan adanya penyesuaian yang lebih mendalam di level legislasi dan peraturan teknis.

Untuk itu, pembentuk undang-undang harus segara menyelaraskan semua dasar pengaturan pemilihan (UU Pemilu dan UU Pilkada) sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, terutama mengenai prosedur, tata cara, dan mekanisme penanganan pelanggaran administratif pemilihan. Penyelarasan tersebut penting untuk dilakukan dalam upaya mewujudkan pemilihan yang baik dan berintegritas. 

Demikian pula halnya dengan regulasi teknis seperti Peraturan KPU (PKPU) dan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu). Seluruh instrumen pelaksanaan teknis harus disesuaikan dengan putusan ini, agar tidak terjadi kontradiksi antara norma hukum yang bersifat operasional dengan norma konstitusional yang telah ditetapkan Mahkamah Konstitusi. Bagaimana pun, struktur hukum yang seragam akan mencegah adanya interpretasi yang berbeda, bentrokan batas kewenangan, serta celah hukum yang bisa disalahgunakan.

Bagi Bawaslu, perubahan desain regulasi ini menghadirkan tantangan sekaligus peluang. Sebagai lembaga yang kini diberi legitimasi untuk menjatuhkan putusan atas pelanggaran administratif, Bawaslu wajib meningkatkan standar profesionalisme dan integritas dalam menjalankan fungsi ajudikatif. Setiap proses pemeriksaan harus menjunjung tinggi asas keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap due process of law.

Dalam konteks ini, kualitas proses ajudikasi akan menjadi fondasi utama bagi kredibilitas putusan yang dihasilkan. Kekuatan hukum yang kini melekat pada putusan Bawaslu harus dibarengi dengan keteguhan menjaga objektivitas dan keadilan, agar tidak hanya mengikat secara normatif, tetapi juga legitim secara etik di mata publik.

Catatan Reflektif

Putusan Mahkamah Konstitusi ini patut dibaca sebagai momentum penting dalam mewujudkan keadilan pemilu yang lebih bermakna. Dari sekadar “rekomendasi yang dapat diabaikan, kini pengawasan Bawaslu mendapat kekuatan hukum yang nyata sebagai “putusan” yang wajib dijalankan. Dengan demikian, fondasi demokrasi elektoral di Indonesia telah diperkuat satu lapis lebih kokoh. Jika pemilu adalah jantung demokrasi, maka keadilan pemilu adalah nadinya. Putusan ini memastikan bahwa nadi itu tetap berdenyut, dengan integritas, keadilan, dan kepastian hukum.

*) Follow Kami di GOOGLE NEWS Untuk Mendapatkan Berita Terkini Lainnya
 

Konten sponsor pada widget dibawah ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Sultrademo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

Pos terkait